Dari Ayah & Ibu Saya untuk Saya dan Anak Saya

Oleh dabu 21 Oct 2013

Tahun ini usia saya sudah menginjak 19 tahun. Saya merasa sudah dewasa. Secara hukum, saya sudah dianggap dewasa karena telah memiliki kartu identitas sendiri. Secara biologis, saya juga dianggap dewasa karena telah melalui masa pubertas dan organ-organ tubuh seksual saya sudah ‘lengkap’ yang memungkinkan saya untuk menghasilkan keturunan. Namun di mata orang tua saya, saya belum dewasa karena saya belum mandiri secara finansial. Kalo saya pikir-pikir lagi, mungkin inilah yang seringkali menjadi penyebab saya dan orangtua terkadang berantem. Ibarat burung, saya ingin terbang berpetualang di angkasa luas, namun mereka ingin hidup saya “baik-baik” saja dalam sangkar yg mereka pelihara dan awasi. Mereka masih ingin memastikan bahwa kehidupan anaknya ini aman,damai,sejahtera, dan memiliki masa depan yang cerah.

Saya bersyukur dilahirkan di keluarga ini. Saya bangga dengan ayah dan ibu saya. Mereka adalah tipikal ayah dan ibu sejati, mereka selalu berusaha yang terbaik untuk memberikan yang terbaik buat saya, bahkan sebelum saya lahir. Itulah mengapa saya percaya kalo “cinta itu buta”, karena orang tua saya sudah menyangangi saya, bahkan sebelum saya lahir !

Ketika saya lahir ayah dan ibu saya baru saja merantau ke kalimantan. Waktu itu ayah saya kerja sebagai karyawan sebuah perusahaan kayu di camp-camp di pedalaman kalimantan, dan ibu saya kerja di puskesmas sebagi dokter PTT. Namun setelah saya lahir, ibu saya berhenti menjadi dokter, sebuah profesi yang ia raih dengan penuh pejuangan, dimana waktu itu ibu saya harus mencari uang dengan jadi guru les untuk membiayai kuliah kedokterannya. Ibu saya bahkan sengaja menghapuskan mimpinya menjadi seorang dokter bedah plastik, walaupun saat itu ia sedang mendapat tawaran untuk melanjutkan pendidikan spesialis sebagai seorang dokter bedah sekaligus dosen di alibuternya. Satu-satunya alasan ibu saya berhenti mengejar mimpinya adalah karena saya ! Ibu saya menganggap saya jauh lebih berarti dari tercapainya mimpinya itu. Kala itu ayah saya bekerja dari pagi hingga sore, dan selama 2 minggu dalam 1 bulan, ia harus berada di camp di hutan kalimantan. Kedua orang tua saya tidak mempercayai pembantu atau babysitter membesarkan saya. Setelah tak lagi jadi dokter, ibu saya berinsiatif membuka apotik untuk membantu perekonomian keluarga. Apotik itu hanya buka pada sore hari. Jadinya dari pagi hingga sore, ibu saya yang mengurus saya, dan dari sore hingga malam, ayah saya yang mengurus saya. Kalau ayah sedang tugas di camp atau di luar kota, ibu saya meminta karyawan apotiknya untuk membantu saya belajar dan memastikan tidur tepat waktu. Ayah dan ibu saya selalu berhemat, namun dalam hal makanan dan gizi, mereka selalu memberikan yang terbaik. Mereka selalu mengusahakan saya rajin minum susu, dan terus mengingatkan saya untuk tidak jajan di sekolah dengan alasan saosnya ga sehat, makanannya kotor kena debu, atau makanan tersebut mengandung banyak vetsin.

Ketika akan masuk SMA, mereka mengirim saya untuk melanjutkan studi di pulau Jawa. Walau mereka tak bisa lagi mengawasi saya secara langsung, mereka sangat rajin menelpon untuk memastikan bahwa keadaan saya baik-baik saja. Kebiasaan itu mereka lakukan, bahkan hingga sekarang. Sementara saya sedang menempuh studi kuliah saya, ayah saya masih belum mau pensiun, meskipun sebenarnya ia boleh untuk pensiun. Beliau masih terus berkerja keras untuk membiayai kuliah dan uang jajan saya.

Ya, saya bersyukur dikaruniai orangtua seperti ayah dan ibu saya. Saya sangat sayang dan bangga dengan mereka. Dalam hati saya berjanji akan membuat mereka bahagia, dan membuat mereka dengan bangga bisa berkata, “itu anakku lho”. Ya pa, ma, saya pasti akan melakukannya, tolong tunggu sebentar lagi saya mewujudkannya. Namun saya juga berjanji bahwa saya tidak akan membesarkan anak saya dengan cara yang ayah dan ibu saya lakukan. Saya akan melakukan berbagai modifikasi untuk bisa menjadi orangtua yang lebih baik lagi bagi anak-anak saya, sang pangeran atau putri saya.

Sekarang ini kita hidup di era yang diidam-idamkan oleh ibu kartini. Era emansipasi wanita atau istilah bekennya, feminisme, telah menjamur di seluruh dunia. Berawal sejak tahun 1970an, saat itu para wanita di Eropa dan Amerika sana menuntut persamaan hak dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya antara wanita dengan pria. Alasan mereka simple, karena manusia memiliki derajat yang sama dan selama ini wanita seolah-olah hanya menjadi warga negara kelas dua, dibawah bayang-bayang superioritas pria. Dampak dari gerakan feminisme ini sangat terasa sekarang, misalnya banyak wanita yang berhasil menduduki posisi-posisi penting di organisasi, perusahaan, dan pemerintahan. Saya setuju dengan persamaan hak wanita untuk memperoleh pendidikan setinggi mungkin, memilih karir/profesi yang mereka inginkan, memiliki hak politik, memiliki hak perlindungan huku. Tapi saya tidak setuju apabila pria dan wanita memiliki peran, hak, dan kewajiban yang sama. Wanita dan pria merupakan unit populasi yang berbeda secara fisik, maupun psikologisnya. Dan saya rasa wanita dan pria diciptakan berbeda, karena Sang Pencipta memiliki tujuan yang berbeda pula. Saya rasa apa yang menjadi kewajiban ibu zaman dulu tetap menjadi kewajiban ibu saat ini, walaupun dengan berbagai adaptasi sesuai perkembangan zaman.

Ketika saya dan istri saya menikah nanti, saya akan membebaskan istri saya apakah ia masih ingin tetap bekerja atau menjalankan usahanya. Hanya saja ketika istri saya telah mengandung anak, saya akan meminta dia untuk tidak lagi sibuk dengan pekerjaannya. Ia bisa mengambil cuti sejenak atau mendelegasikan tugas-tugasnya sementara kepada orang yang paling ia percayai. Mengapa ? Karena saya ingin memastikan bahwa kami telah mempersiapkan yang terbaik untuk calon pangeran atau putri kam. 2 hal yang menjadi perhatian utama adalah soal kesehatan dan nutrisi. Ketika istri saya cuti sejenak dari pekerjaannya selama masa kehamilan, risiko istri saya terpapar dengan toksin, zat kimia, radiasi, infeksi, dan tekanan psikologis juga berkurang. Hal ini tentu akan mengurangi berbagai kemungkinan timbulnya kelainan bawaan sejak anak itu lahir. Dan untuk nutrisi, saya akan memberikan ekstra supaya asupan gizi yang diterima sesuai dengan yang dibutuhkan, tidak berlebih, dan tidak kekurangan. Pentingnya asupan gizi yang tidak kurang, namun tidak lebih itu pernah dijelaskan oleh pernyataan dr. Saptawati Bardosono, seorang dokter ahli gizi sekaligus dosen FK UI :
“Ketika seorang ibu hamil tidak dapat memberikan gizi yang optimal untuk janinnya, sistem metabolisme janin akan terprogram untuk hidup dengan gizi minimal. Jika saat lahir, bayi diberi gizi berlebih, sistem metabolismenya tidak akan mampu memprosesnya dan akan mengakibatkan kegemukan pada anak. Kondisi yang sama juga akan terjadi apabila ibu hamil mengalami kegemukan yang akan memprogram sistem metabolisme janin”.

Ketika anak saya telah lahir, profesi saya dan isteri bertambah satu, yakni sebagai ayah dan ibu dari pangeran atau putri kami itu. Walau saya belum pernah menjadi seorang ibu, dan tentunya tidak akan pernah, saya rasa menjadi ibu adalah salah satu pekerjaan yang paling susah di dunia, namun juga pekerjaan yang paling mulia. Saya akan membebaskan istri saya untuk bekerja atau aktif dalam berbagai kegiatan sosial, asalkan tidak terlalu menyita waktunya. Beberapa pekerjaan rumah tangga, seperti bersih-bersih rumah, mencuci baju, atau memasak memang bisa didelegasikan kepada pihak ketiga. Tapi untuk membesarkan anak-anak kami, tentunya hanya saya dan isteri saya yang punya hak sekaligus kewajiban itu ! Dan tentu saja isteri saya sebagai ibunya yang menjadi “prajurit garis depan” atau ujung tombaknya ! Hehee…
Dalam membesarkan anak saya, saya ingin melakukan pendekatan secara holistik, maksudnya dengan memandang anak itu sebagai makhluk bio-psiko-sosial. 3 aspek itu harus diperhatikan supaya si anak dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal.

Untuk perkembangan secara biologisnya, tentu sang anak perlu nutrisi yang seimbang, tidak lebih, dan tidak kurang. Pentingnya nutrisi dijelaskan oleh seorang Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB Prof Hardiansyah, dalam pernyataannya :
“Dalam mencetak anak berprestasi, dukungan terhadap perkembangan otak menjadi faktor yang signifikan. Untuk mendukung perkembangan otak secara optimal pada anak terutama di periode emas pertumbuhan, dibutuhkan kelengkapan gizi termasuk karbohidrat dan asam linoleat. Lebih dari itu, pemenuhan kebutuhan nutrisi secara tepat, lengkap dan seimbang akan saling memberikan pengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara keseluruhan, termasuk otak, tulang, penglihatan dan imunitas - yang akhirnya mendukung kapasitas anak untuk menjadi seorang pemimpin,”

Namun saya rasa kedepannya yang menjadi masalah untuk membuat asupan gizi si anak menjadi seimbang bukan terletak pada karena tidak tersedianya makanan atau sumber nutrisi yang baik, tapi lebih kepada skill ibu untuk membuat anak mau mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang dan makanan yang menyehatkan. Dalam memberikan nutrisi, sang ibu juga tidak boleh memberikannya secara berlebihan, yang dapat menyebabkan anak mengalami obesitas. Bahaya yang diderita anak yang memiliki berat badan berlebih atau obesitas dijelaskan dalam buku Fisiologi KedokteranGuyton dan Hall menjelaskan :
“Kecepatan pembentukan sel-sel lemak yang baru terutama meningkat pada tahun-tahun pertama kehidupan, dan makin besar kecepatan penyimpanan lemak, makin besar pula jumlah sel lemak. Jumlah sel lemak pada anak obes tiga kali lebih banyak dari jumlah sel lemak pada anak dengan berat badan normal. Oleh karena itu, dianggap bahwa nutrisi yang berlebih pada anak terutama pada bayi, dan yang lebih jarang pada masa kanan-kanak berikutnya, dapat menimbulkan obesitas di kemudian hari.”

Dalam perkembangan secara psikologisnya, saya ingin anak-anak saya tumbuh dengan kasih sayang dari perhatian dari kedua orangtua nya. Dalam hal ini, walau sesibuk apapun kami, saya tetap ingin kami memiliki quality time dengan anak saya. Tentunya sang ibu akan memiliki porsi quality time yang lebih besar dengan anak-anaknya, seperti pada saat memberi makan, atau menemaninya belajar.

Dalam pengembangan sosialnya, saya ingin anak saya bertumbuh dengan karakter. Peran ibu disini sangat vital. Ketika si anak sedang curhat tentang masalahnya di sekolah, sang ibu bisa menanggapinya cerita sambil menanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan nilai atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Sang ibu juga dapat memotivasi anaknya untuk meraih prestasi, dengan cara yang fair, tanpa harus saling tikung-menikung atau menjatuhkan orang lain untuk menjadi juara dalam kompetisi.

Selain ketiga itu, sang ibu juga perlu mengenalkan ia kepada TUHAN, saya percaya takut akan TUHAN adalah awal dari pengetahuan. Sangatlah penting bagi seorang anak untuk mengenal Sang Pencipta nya sejak ia kecil. Dari sinilah ia dapat menentukan apa tujuan hidup yang ia ingin capai dan nilai-nilai yang ia pegang dalam kehidupannya.

Beginilah kurang lebihnya blueprint yang saya rencanakan saat ini dalam membesarkan pangeran atau putri dalam keluarga saya bersama sang istri tercinta. Hal ini akan terus kami lakukan hingga anak tersebut mencapai masa pubertas dan telah dewasa dalam pemikirannya. Ketika si anak telah mencapai hal itu, dia harus dibiasakan untuk bisa menjadi pria atau wanita yang mandiri. Sang ibu sudah tidak perlu lagi banyak mengintervensi keputusan-keputusannya atau memilihkan pasangan hidupnya. Saya memimpikan anak saya kelak menjadi seorang yang dikenal dengan integritas dan karakternya, seorang yang dapat meningkatkan kualitas hidup orang lain, seorang yang dapat membuat dunia menjadi lebih baik lagi, seorang anak yang dapat ayah, ibu, dan semua orang banggakan.

Tulisan ini saya buat khusus untuk mengikuti lomba #LombaBlogNUB yang diadakan oleh nutrisiuntukbangsa, sebuah gerakan dari masyarakat, untuk masyarakat yang peduli akan masalah-masalah gizi di Indonesia, dan mengajak seluruh elemen bangsa untuk peduli dan bekerja sama memerangi masalah-masalah gizi di tanah air