Dukungan Penuh Bantu Anak Saya Jadi Pemimpin Kecil...

Oleh khairina 01 Oct 2013

Dunia tak selalu ramah bagi anak saya, Rumaisha Raihanun Aqila, atau biasa saya panggil Hanun. Sifatnya yang tidak bisa langsung akrab dengan orang baru membuat Hanun seringkali dianggap pemalu dan penakut.

Salah satu orang tua teman Hanun bahkan terang-terangan membandingkan anaknya dengan anak saya. “Kalau Hanun kan diam saja ya, enggak seperti anak saya. Dia aktif banget dan enggak bisa diam,” kata si Ibu.


Sebenarnya Hanun banyak memiliki bakat. Di rumah pun perkembangannya sangat baik. Dia suka sekali buku, senang bercerita, gemar menggambar dan mewarnai. Hanun suka menari dan menyanyi, hafal beberapa lagu berbahasa Inggris serta memiliki daya ingat yang sangat kuat. Dia aktif berlarian ke sana kemari, belajar sepeda, menyiram tanaman, dan aktivitas anak-anak lainnya.

 


Namun, Hanun memang tidak bisa langsung akrab dengan orang baru. Dia perlu mengenal dan merasa nyaman dengan seseorang sebelum memutuskan untuk dekat dengan orang tersebut. Kalau sudah akrab, Hanun akan terbuka, bercanda, dan ngobrol seperti biasa.


Sayangnya, banyak orang menganggap anak yang cepat akrab dengan orang lain adalah anak yang lebih cerdas, berani, dan kreatif. Dan, karena Hanun tidak bisa langsung akrab, dia langsung dicap sebagai “anak penakut”.


Sebagai ibu, saya tidak bisa tinggal diam. Saya tidak bisa membiarkan stigma anak penakut melekat terus di benak anak saya dan malah menghambat perkembangannya. Saya pun mulai menyusun strategi!

Strategi pertama, saya mulai “menjauhinya” perlahan-lahan. Selama ini, Hanun memang banyak bergaul dengan saya. Apalagi, di rumah tidak ada asisten dan babysitter. Alhasil, Hanun nyaris tidak pernah lepas dari saya.


Saya mulai “menjauh” dengan cara mengambil beberapa pekerjaan freelance. Sebelum punya anak, saya memang bekerja . Namun, karena ingin sepenuhnya berada dekat si kecil, saya memutuskan untuk berhenti.


Dengan mengambil pekerjaan freelance, Hanun “terpaksa” saya titipkan pada eyangnya selama beberapa jam dalam sehari. Agar Hanun tidak kaget, saya mengawali “perpisahan” saya dengan membiarkan eyangnya menjemput Hanun.


Awalnya, Hanun memang bertanya dan protes, tetapi lama-lama dia mengerti dan bahkan menikmati perjalanan pulang sekolah bersama eyang.


Setelah berhasil, saya pun mulai bilang kepada dia secara pelan-pelan,”Nun, mama sekarang kerja. Nanti pulangnya dibawakan apa?”kata saya.


Pertama kali ditinggal, Hanun menangis. Saya konsisten membawakannya hadiah kecil setiap pulang kerja. Hadiah itu biasanya susu kesukaannnya atau cemilan ringan dan kue.


Lama-lama, anak saya sudah mau ditinggal dan tidak rewel. Sekarang, dia bahkan minta saya tidak usah membawakannya oleh-oleh. “Nanti saja kalau mama pulang, aku diajak beli. Aku mau milih sendiri,” kata anak saya.


Beres strategi pertama, saya pun beralih ke strategi kedua, yakni mengikutkannya dalam kegiatan yang melibatkan banyak orang. Saya pun membuat jadwal kegiatan Hanun, tentu saja yang tidak memberatkan bagi anak seusia dia.


Setiap Selasa, anak saya ikut mewarnai, telling story, dan menonton film bersama di Perpustakaan Ganesa, sebuah perpustakaan yang didirikan oleh pasangan suami istri dari Amerika Serikat (AS). Di tempat itu, banyak anak-anak seusia Hanun yang rutin ikut kegiatan.


Awalnya, saya harus menungguinya. Lama-lama, Hanun sudah bisa saya tinggal. Dia bahkan akrab dengan pustakawan-pustakawati di sana dan punya banyak teman baru.

 

Foto: Hanun bersama founder Perpustakaan Ganesa, Michael Mrowka


Kegiatan lain adalah menari dan mengaji di TPA. Setiap Senin dan Kamis, Hanun menari di sebuah sanggar tari di Istana Mangkunegaran Solo. Di tempat ini, balita hingga dewasa berlatih menarikan tarian Jawa.

Hanun sempat ngambek dan ogah-ogahan diajak menari. Tetapi,lama-lama, saya lihat dia punya teman baru. Hanun pun sekarang tak pernah absen lagi menari. Bahkan, dia kesal kalau saya minta libur latihan tari.


Sementara, TPA jadwalnya setiap hari Rabu dan Jumat. Ini yang paling sulit. Dia awalnya menolak, alasannya ada-ada saja. Intinya, saya melihat dia “takut” menghadapi situasi berada dengan teman-teman yang tak dia kenal.

Saya pun membelikannnya baju muslim baru. Eyangnya mengantarkan Hanun ke mesjid sambil menitipkannya pada seorang anak di situ. Tak berapa lama, Hanun sudah berani pergi ke TPA sendiri dan bahkan enggan diantar. Dia pun sudah punya banyak teman di situ.

Beberapa bulan setelah berbagai strategi ini saya terapkan, banyak perubahan positif dalam diri anak saya. Sekarang, dia lebih berani mengemukakan pendapat, berani maju, dan cukup percaya diri. Guru kelasnya berkata, banyak kemajuan yang dicapai Hanun. Dia sudah berani mempertahankan haknya jika diganggu teman, mengemukakan pendapat di depan teman-teman, dan beberapa kali memimpin doa dan berperan aktif dalam kelompok.

Saya yakin, dengan dorongan yang tak pernah putus, Hanun pun akan jadi pemimpin kecil. Dia mungkin butuh waktu beradaptasi, tapi itu bukan berarti dia tak berani. Saya berharap, Hanun tidak hanya menjadi pemimpin yang berani, tapi juga penuh empati.