HADIRMU, SERTAI TIAP LANGKAHKU

Oleh Robertha Andreani 20 Oct 2013

HADIRMU, SERTAI TIAP LANGKAHKU

 

Bunda, betapa bahagianya aku dapat melihat senyum mengembang terpancar dari wajahmu, dan terlebih kau tersenyum karena aku. Engkau sosok yang sungguh sempurna bagiku. Bunda, engkau sosok wanita yang menunjukkan kepadaku bagaimana hidup dan bilamana tak hidup, berkat kemurahan, keberhasilan, dan rasa syukur yang mengangkatku supaya jauh dari kehampaan cinta diri. Engkau tunjukkan siapa aku ini, dan apa yang bukan aku, dengan dorongan cintamu, kelembutan dan keyakinanmu memegangku serta memanggilku kepada ketetapan hati yang lebih dalam.

Sejauh kaki melangkah, sedalam otak berpikir, selentik jemari tangan melukiskan untaian kata, tak ada yang mampu menandingi kedalaman kasih yang kau berikan padaku. Sosok wanita penuh charisma, lembut hati, dan manis, yang tak pernah mengeluh akan kerasnya hidup. Wanita yang mengajari cara survive, menentukan prioritas, dan memilih win-wi solution dalam menyelesaikan masalah, Ibu, seorang malaikat yang Tuhan ciptakan untuk menjagaku selama perjalanan hidup ini.

Ibu, hanya dikau dan doamu yang mampu tenangkan daku dari lautan masalah yang menghimpit. Hanya senyummu yang mampu memberikan kelegaan dan meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Terjalnya jurang kehidupan yang harus kulalui terasa ringan ketika kubagi beban hidupku lewat curahan cerita padamu.

Ibu, aku tahu seberapa keras usahaku untuk membalas budimu, semua tak akan pernah terlunaskan. Kasih sayangmu terlampau besar untukku. Kali ini aku ingin bernostalgia dengan membuka fragmen memori yang paling berkesan dalam hidupku, sebuah proses pendewasaan yang kau ajarkan dalam sejarah hidupku.

Kisah ini berawal ketika aku harus bergumul dengan berbagai pilihan yang menguras otakku untuk berpikir dan menganalisis konsekuensi atas pilihan tersebut. Aku ingat betul sewaktu masih kelas 1 SMA, engkau selalu mengingatkanku supaya rajin belajar untuk persiapan penjurusan yang pasti menjadi pijakan dalam menentukan masa depanku kelak. Permintaanmu saat itu hanya satu menginginkan aku kuliah di teknik industri setelah kurasa permintaaanmu yang ingin melihat aku berprofesi sebagai pahlawan medis kutolak, kurasa kau gagal dalam hal itu.

Di tengah dunia kehidupan kita yang hiruk pikuk ini betapa lebih mudah membayar sesuatu dengan kartu kredit daripada memberikan hadiah dari kedalaman hati nan tulus. Hal itu kurasakan menohok ragaku. Aku menyanggupi permintaanmu untuk kuliah mengambil teknik industry dengan mengajukan syarat asalkan aku duduk di bangku jurusan IPA dan bisa menduduki peringkat di kancah olimpiade kimia sehingga mudah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di jurusan teknik industri.

Setiap senja kulihat engkau duduk dengan kepala tertunduk seperti tampak merenung dan belakangan aku menyadarinya, disetiap doamu, Bunda, aku mendengar namaku kau sebut. Tak pernah sekalipun kau mengalpakannya. Air mataku mulai menitik melihat apa yang ditangkap fokus mataku. Dalam hati aku merasa bersalah, kuakui keinginanku menerima kesanggupan kuliah di jurusan teknik industri bukanlah berasal dari hatiku. Kupikir akan jauh lebih baik berteman dengan angka berhitung dan pena untuk sketsa skala, meskipun aku tahu aku sangat membenci pelajaran menggambar. Entah mengapa otakku tak bersinergis dengan seni lukis. Kuambil pilihan itu daripada harus menjadi bidan, perawat, atau dokter yang tiap harinya harus bergelut dengan pasien. Engkau tahu, Bunda, dan engkau jauh lebih mengenalku, aku adalah gadis yang takut diambil darahnya, tak tega melihat kondisi luka menganga, berhubungan dengan luka jahit, berurusan bau obat-obatan, jarum suntik serta sanak saudaranya.

Sebagai seorang PRT (baca: Peserta Remidi Tetap) mata pelajaran kimia dan fisika, amatlah sukar menembus peluang berada di golongan kelas IPA apalagi menjadi olimpian. Mustahil, bagaikan memindahkan gunung ke lautan. Tapi, lewat perjuangan, doamu diluluskan, Bunda, dan untuk apa saja yang kita jalani dengan sentuhan cinta, apa yang sebelumnya terasa khayalan berubah jadi kenyataan.

Hellen Keller pernah mengatakan bahwa hal-hal terindah dan terbaik di dunia tak dapat dilihat atau disentuh. Mereka hanya bisa dirasakan dengan hati. Teramat menyentuh cintamu, Bunda, bagaikan matahari yang terbit setiap pagi, memberi cahaya kepada siapa saja tanpa terkecuali. Kau pun masih tersenyum meskipun aku tahu dalam hatimu menjerit, berteriak atau bahkan mungkin marah. Tapi, kenapa itu tak kau perlihatkan padaku, Bunda? Saat aku melenceng dari janjiku,saat pengumuman tes Ujian Saringan Masuk perkuliahan aku menolak kuliah di jurusan teknik industri, melepas beasiswa, dan lebih memilih jurusan manajemen bisnis yang sudah pasti akan merupakan dunia baru dengan spekulasi perhitungan berbeda dari ilmu eksak yang selama ini kupelajari. Engkau tetap menunjukkan kepadaku makna kesetiaan dalam mendampingi jalanku. Aku terharu atas perlakuanmu yang begitu istimewa selama aku hidup di dunia.

Tak ada yang lebi pedih, tak ada sakit yang begitu perih ketika kita tak bisa membuat orang yang kita sayangi bahagia, ketika melihat mereka terluka karena kita. Aku sakit, Bunda. Sakitku laksana panah cuka pada luka. Melihatmu diam itu jauh lebih mencekam, menikam layaknya tenggelamnya kapal hidupku karena karam, daripada mendengar amarahmu bagai petir menyambar tapi memberi penghidupan harapan bagi semesta.

Pikiran manusia memang cepat berubah. Kecintaanku selama masuk di kelas IPA mengantarku dengan mantap menyatakan “kimia harga mati”. Aku mendaftar di salah satu akademi ternama di Indonesia, mengambil jurusan D3 Kimia Analisis, menyuruhku dengan sukarela melepaskan (lagi) pilihan yang sudah kubuat sebelumnya. Saat itu kau masih menunjukkan ketersediaanmu mendanai biaya pendaftaranku dan malah kau juga yang merengek, meminta Ayah menyetujui langkah baruku.

Jejak baru setapak kulalui tatkala aku menginjakkan kaki sebagai mahasiswa di akhir semester 1. Aku rindu suara merdumu, Bunda, melihat engkau dengan sigapnya memainkan pisau memasakkan makanan untuk keluarga, mendengar gelak tawamu saat Ayah mulai lupa tanggal pertama memintamu jadi kekasih hatinya, sorot mata ketenangan bak aliran danau yang menyegarkan. Di setiap bait doa yang kau panjatkan, untaian puisi ketentraman menghujani kalbuku.Aku masih putri kecilmu yang akan selalu membutuhkan dampinganmu seumur hidupku. Sebagian besar orang butuh mendengar “dua kata sederhana” itu. Terkadang, mereka mendengarnya pada saat yang tepat. “Aku mencintaimu.” Bunda, aku mau kau mendengar kata itu sekarang, esok, lusa, dan seterusnya. Aku mau senantiasa mendengar doamu terjawab, di dalam pintamu aku bisa mendengar namaku selalu kau sebut.

Siang hari di bulan Oktober 2011, tatkala angin semilir meniupkan hawa kerinduan kotaku, bayu, aku dan sekelompok paduan suara yang menamakan diri Raphael Rangers mengadakan kunjungan ke sebuah panti jompo. Aku tergugah, terbangun dari hidup lamaku yang terkesan mengikuti arus nafsu, berusaha bangkit menyadari waktu sungguh amat berharga. Waktu bukan hanya sekedar uang, tapi adalah talenta dari Sang Maha Pencipta. Mataku terbuka dan hatiku terketuk untuk menerima panggilan bekerja di bidang kesehatan.

Kukira engkau lelah lalu mulai menerima kekalahan dari pemikiranmu yang menginginkanku menjadi seperti yang kau ingini sejak dulu. Hening menyelimuti percakapan kita seolah kita berada dalam semak-semak kehidupan dan mencari kehendak Tuhan. Akan tetapi, bukankah ini kemenangan dari jalan yang kita tentukan? Gemercik gerimis tampaknya memberi isyarat mewakili perasaanku dan Bunda. Kudengar isakan tangis dari suara di ujung telpon. Tapi, mengapa Bunda tetap juga berdoa memanjatkan harap kebahagiaan untukku dalam kegundahan yang tak seharusnya terjadi. Doamu begitu tulus, cintamu padaku teramat dalam untuk kuselami, pinta yang engkau pohonkan pada-Nya masih terekam detail dalam benakku.

Bahkan kau rela tak masuk kerja demi mengurus prasyarat pendaftaranku, sampai-sampai kau jatuh sakit tetapi tetap kau paksakan menemaniku, mendampingiku menjalani serangkaian tes masuk fakultas kedokteran. Sungguh sebuah ikatan begitu dalam dan kuat, ikatan itu menetap selamanya di suatu tempat di luar jangkauan kata-kata dan tak terlukiskan indahnya. Lalu kau mulai lupa akan pola makan, guratan-guratan mulai muncul di dahimu, engkau pun dengan menghitung putaran matahari, menghadapi kepudaran rembulan kehidupan. Sebagai wanita karier, engkau selalu disibukkan dengan agenda yang berjubel, tapi tak pernah sekalipun Bunda melupakan kewajiban sebagai seorang ibu. Dan mungkin ini kedengarannya egois, sungguh aku lebih menyukai Bunda memakai pakaian santai, tanpa make up ataupun atribut aksesoris lain, karena saat itulah aku tahu engkau milik kami.

Hidup ini tidak selalu didasarkan pada jawaban-jawaban yang kita terima, tetapi juga pada pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan. Sebagai seorang anak, tak perlu diibaratkan sebagai pekerja yang harus menyodorkan proposal sebagai tanda pemenuhan terkabulnya permohonan, tidak denganku. Setiap keinginanku mungkin tidak selalu kau penuhi, tapi tidak dengan kebutuhanku. Engkau selalu tahu apa yang benar-benar kubutuhkan, bukan apa yang sekedar menjadi keinginanku.

Meskipun aku tahu ada hal yang harus kita perjuangkan di tengah rintangan yang menghadang. Syukurlah, di papan pengumuman tercantum namaku sebagai salah satu peserta yang lolos diterima untuk menjadi mahasiswa kedokteran. Akhirnya keajaiban dunia itu lagi-lagi datang. Merespon panggilan hidup memang tak mudah. Akhirnya, aku harus menempa mimpi itu untuk kembali mewujudkan keajaiban lagi, menjadi seorang dokter profesional dengan integritas moral, soft skill prima, peduli kepada masyarakat dan melayani penuh kasih.

Akhir itu kini menjadi awal yang harus diperjuangkan. Kini, sebagai seorang anak yang tengah menganyam pendidikan menjadi mahasiswi kedokteran, mimpi itu sekarang tak lagi untuk bermain-main, ada pada pasien-pasien yang membutuhkan uluran tangan tulus karena aku mengemban misi kemanusiaan yang amat berat berkaitan dengan nyawa manusia. Menjadi dokter bukanlah pengejaran prestise ataupun pemberi harapan palsu, namun seorang dokter adalah perpanjangan tangan Sang Pencipta untuk menolong jiwa. Demi merekalah sekarang aku hidup, dengan cita, mimpi, dan cinta yang benar-benar terbit dari hati, aku mau mempersembahkan lentera jiwa dan raga untuk segenap permata jiwa yang tiada tara, manusia yang membutuhkan uluran kasih. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan bakat, visi, dan komitmen ketekunan dan yang terpenting kepercayaan yang teguh bahwa kita bisa menata diri kita sendiri.

Ibu, sungguh doamu mujarab, kedahsyatannya jauh lebih ampuh dari bom nuklir sekalipun. Doamu kekuatan terbesar di muka bumi ini. Aku bersyukur, di setiap doamu kemarin, kini, esok dan selamanya Bunda selalu tak lupa membawa namaku dalam serangkai syair pujian doamu.

Aku ingat betul pesan yang selalu kau katakan padaku untuk bekal hidup, “Sederhana kuwi gak opo, Nduk, pokoke sing sampeyan lakoni iku bener, becik, lan ora nyimpang saking dhawuhing Gusti Pangeran,” begitu nasehat Ibu yang selalu berusaha kupegang teguh selama hidup di perantauan.

Ibu selalu mengajariku untuk hidup sederhana dan memegang prinsip nilai-nilai kehidupan sehingga bisa mengendalikan kondisi yang acapkali memaksa kita meninggalkan apa yang seharusnya menjadi pedoman dalam menjalani hidup. Dunia boleh berubah tapi iman tak boleh goyah. Sepintar dan secerdas apapun kita, kita tetap tak boleh melupakan Sang Pencipta. Karena seringkali yang terjadi ketika orang mulai menggenggam ilmu pengetahuan, ada beberapa orang menajdi takabur, sementara seharusnya kita bersyukur. Iman bukan hanya soal perasaan dan hati, tapi juga menyangkut akal budi. Segenap hati, budi, pikiran, tenaga, perasaan harus dipadukan unutk menguatkan iman kita. Hanya karena Dia-lah segala sesuatu ada dan tidak ada. Karena kita semua adalah milik Tuhan dan kepada-Nya kita akan kembali.

Manusia boleh berusaha dan menghendaki sesuatu, tetapi pada akhirnya Tuhan-lah yang menentukan. Dia tahu mana yang terbaik bagi umat-Nya. Kini aku semakin mantap dalam menjalani setiap jejak langkahku,aku tahu Bunda selalu mendukung pilihan positif yang kutapaki. Dalam harapmu, engkau selalu memohon anugerah kesehatan untuk kami sekeluarga, dijauhkan dari segala marabahaya, dilindungi dari segala yang jahat, diampuni kesalahan dan dosa baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, diberikan rejeki yang secukupnya dan bisa berbagi dengan sesama sampai akhirnya kami kembali ke rumah-Mu dengan bahagia sentosa. Bunda, terima kasih, kulantunkan harapan ke hadirat-Nya semoga doamu senantiasa didengar dan direstui oleh Sang Empunya Semesta.Mudah-mudahan Bunda bisa menjagai keluarga sampai generasi cucu bahkan cicit. AMIN.

*********************************************************

“Hidup sederhana saja, Nak, yang terpenting apa yang kamu lakukan adalah benar, baik, dan tidak melanggar dari perintah Sang Pencipta,”  (Bahasa Jawa)