Ibuku, kekuatanku. Ibuku, kebahagiaanku

Oleh edra mantiri 02 Mar 2012

 

Merupakan sesuatu  yang menarik ketika saya membaca  mengenai blog writing competition : Ayo dukung bunda : Kesehatan bunda, kesehatan kita melalui jejaring sosial twitter. Apa pasal ? karena saya baru follow akun twitter Nutrisi Untuk Bangsa sehari sebelumnya, setelah saya membaca sebuah retweet dari akun lain yang saya follow juga. Dan di hari yang sama, beberapa jam sebelum saya menemukan akun twitter Nutrisi Untuk Bangsa, saya sedang berdiskusi dengan seorang sahabat melalui layanan Blackberry Messenger mengenai pentingnya kesehatan untuk seorang ibu, yang saya akhiri dengan pesan  : ‘ Jadi ibu itu harus sehat, memiliki anak mestinya bisa jadi motivasi tiap ibu untuk terus jaga kesehatan. Sulit lho tumbuh tanpa seorang ibu..’

Ya. Dari 27 tahun usia saya, hanya 15 tahun yang saya rasakan dalam asuhan seorang ibu. Ibu saya meninggal dunia dalam usia 44 tahun karena kanker lambung Setelah itu saya melewati fase tumbuh menjadi seorang wanita dewasa tanpa ibu. Suatu hal yang ternyata cukup berat untuk dijalani.

Ibu di mata saya adalah seorang wanita yang tangguh. Memiliki suami yang mencari nafkah di luar kota bahkan di luar negeri. Mungkin moment istimewa dimana beliau ingin didampingi suami tidak selalu terwujud, sekalipun itu adalah saat dimana beliau akan menjalani persalinan. Butuh karakter yang tangguh untuk melewati itu semua. Dan ibu memilikinya. Terlalu tangguh, hingga apapun masalah hanya beliau tumpuk di ruang hatinya. Terlalu tangguh, hingga memiliki pola hidup sehat pun tidak digubrisnya. Memperhatikan pola makan anak-anak, tanpa memperhatikan pola makan diri sendiri. Membahagiakan anak-anak, tanpa peduli batin sendiri. Yang penting anak-anak sehat. Yang penting anak-anak bahagia. Mungkin waktu itu ibu tidak mengerti, anak-anak  juga membutuhkan ibunya untuk selalu sehat dan bahagia.

Ketika pola makan tidak teratur dan stress menjadi irama tetap kehidupan ibu, ibu mengalami penurunan fisik, selalu merasa kembung, dan sering muntah, bahkan saat minum jus sekalipun. Puncaknya adalah ketika ibu didiagnosa mengidap kanker lambung stadium akhir. Dari hari saat diagnosa ditegakkan, ibu hanya mampu bertahan selama 2 bulan setelahnya. Saya tidak ingin menyalahkan apa yang sudah menjadi kehendak Tuhan. Tapi saya kira, selalu ada hikmah yang bisa diambil dari setiap peristiwa.

 Saya mengalami suatu proses yang tidak enak tumbuh tanpa seorang ibu. Bahkan di usia yang ke 27, setelah 12 tahun dilatih menjadi seorang perempuan mandiri, di saat sudah memiliki karir yang mengharuskan saya jauh dari rumah, ada kalanya saya merasa tersiksa karena tidak memiliki seorang ibu. Saya iri saat teman di mess tempat tinggal menelepon ibunya untuk menanyakan resep masakan, saat pekerjaan membuat frustasi teman-teman dapat langsung menelepon ibunya dan dengan nada manja dan setengah merengek berkata : ‘ibu..ibu lagi dimana? ‘, saya iri ketika salah seorang teman mendapat kiriman kue-kue, kemeja kerja, dan sepatu dari ibunya. Sebagai seorang yang mengenal anaknya  semenjak lahir, biasanya ibu tidak akan salah memilih baju atau sepatu yang cocok untuk kita bukan ? atau ketika seorang teman hendak pergi ke pesta dan mengirimkan foto dirinya dengan setiap gaun yang dicobanya untuk menanyakan mana yang terbaik. Saya iri. Orang mungkin tidak tahu betapa hal-hal kecil itu justru memperbesar arti kehadiran seorang ibu untuk anaknya. Mother knows best.

Melewati usia puber tanpa ibu juga tidak kalah beratnya. Saya jatuh cinta. Andaikan ibu disini, tidak mengapa ibu mengejek saya karena cinta monyet yang saya rasakan, yang penting ibu tertawa saat saya bahagia dan menghibur saat saya patah hati. Saya ingin ibu ada untuk saya persembahkan piala saat saya menjadi juara umum sekolah, atau untuk saya persembahkan setangkai mawar saat saya menjalani sumpah profesi. Dan saat saya sakit saya tahu tempat dimana saya bisa merengek dan bermanja-manja biarpun usia saya sudah hampir 30 tahun.

Saat ayah membimbing saya melangkah ke altar dan menyandingkan saya dengan seorang pria untuk mengucap janji sehidup semati, saya ingin ibu melihatnya dan dengan hanya melalui tatapan, ibu bisa meyakinkan saya kalau saya tidak salah pilih. Dan puncak dari ketakutan saya adalah, jika saya menjadi seorang ibu, saya takut  karena ibu tidak ada, saya tidak tahu bagaimana cara merawat buah hati saya. Saya takut ‘lumpuh’ karena ketidakhadiran ibu untuk membimbing saya.

Setiap tahun saya ingin mengenang ibu dengan cara yang sewajarnya, karena saya takut semakin bertambah umur saya, kenangan 15 tahun bersama ibu akan memudar. Saya ingin anak-anak saya bisa memiliki cerita tentang nenek mereka , biarpun itu dirangkai hanya berdasarkan kenangan ibu mereka.

Saya yakin bahwa segala sesuatu yang Tuhan telah tetapkan untuk kita lalui pada akhirnya akan membawa kebaikan. Bahwa dari pengalaman yang saya lalui, saya tahu tidak enaknya melalui usia-usia kritis tanpa seorang ibu. Saya berjanji pada diri-sendiri, jika Tuhan menganugerahi saya seorang atau beberapa orang anak, saya akan sehat untuk mereka. Takdir tidak bisa ditolak, tapi sepanjang masih dianugerahi akal dan pikiran, adalah salah kalau tidak menggunakannya untuk menjaga kesehatan.  Ada banyak cara hidup sehat dan  ada banyak sumber informasi yang bisa kita dapatkan. Mari ibu, jalani hidup sehat untuk kita dan keluarga. Lihatlah buah hati anda, dan jadikan mereka sebagai sumber kekuatan dan kebahagiaan anda karena anda jugalah sumber kekuatan dan kebahagiaan mereka.

Ibuku, kekuatanku.

Ibuku, kebahagiaanku.

http://nutrisiuntukbangsa.org/blog-writing-competition/