Isteriku, Ibu Hebat untuk Anakku

Oleh nuzulul arifin 10 Oct 2013

Isteriku

Tak terasa, hampir 14 tahun kami bangun biduk rumah tangga. Segala hempasan ombak dan badai telah kami lewati. Dalam mengarungi samudera kehidupan yang tiada tepi. Ada kalanya sakit, kami saling menguatkan. Ada kalanya jatuh, kami saling membangunkan. Ada kalanya kesukaan, kami saling membagikan. Begitu luar biasa. Begitu indah. Ini mungkin tak akan berjalan baik, jika tak ada bidadari cantik di sampingku. Isteriku cantik, bidadariku. Ibu yang hebat juga untuk anak-anak kami.

Alhamdulillah, aku bersyukur memiliki 2 orang ibu yang hebat juga. Ibuku yang membimbing ke-5 anaknya menjadi manusia tangguh. Ibu mertuaku yang hebat, mampu bertahan membesarkan ke-10 anaknya, walau sendiri. Di tengah kondisi keterbatasan ekonomi keluarga.Subhanalloh, ternyata isteriku juga bisa menjadi ibu yang tangguh dan hebat untuk anak-anak kami.

Keluarga adalah segalanya. Di situlah hulu pendidikan anak-anak kami. Sebab kebaikan atau keburukan pada anak kami, orangtua lah yang bertanggungjawab. Oleh karena itu, semenjak awal pernikahan kami, sudah buat kesepakatan. Bahwa kami berbagi tugas yang sama dalam hal kepengasuhan dan menentukan pola ajar serta pola didik.

1999, tahun pertama pernikahan, kami dihadiahi Alloh seorang puteri yang manis. Berturut-turut, 2001 seorang putera yang ganteng lahir. Sayang di tahun 2003, kehamilan isteriku gugur. Namun Alloh mengganti dengan seorang bayi mungil nan cantik di penghujung 2004. Lengkap sudah, 2 orang puteri dan seorang putera. Kami begitu bersemangat untuk mengasuh mereka dengan totalitas. Apalagi sejak dari awal kami sudah bertekad untuk memberi mereka bekal hafalan Al-Qur’an.

Menjaga nuansa dinamis untuk membaca dan menghafal itu bukanlah hal yang mudah. Tugas ini memang cenderung lebih banyak kepada isteriku. Selain memang ilmu keagamaannya yang cukup mumpuni. Hafalan Al-Qur’an yang dimiliki jauh lebih baik dariku. Televisi adalah barang elektronik pertama yang kami jauhkan dari anak-anak kami. Sehingga sejak tahun 2000 kami tidak menonton televisi.

Kami menyadari bahwa kehidupan zaman sekarang harus pandai memilih dan memilah. Menurut isteriku, jika anak tak dibekali dengan iman yang kuat, akan berat menghadapi tantangan zaman. Melihat kenakalan remaja yang merebak di mana-mana sungguh membuat miris. Menyaksikan sepak terjang dan tingkah pola pimpinan negeri cukup memprihatinkan. Korupsi, kolusi dan nepotisme seperti sudah menjadi lagu wajib. Begitu sulit mencari figur pemimpin di zaman seperti ini. Oleh karena itu Khalifah Lukmanul Hakim pernah berpesan kepada anaknya: Jika kita hanya boleh memilih 5 di dunia ini maka pilihlah agama, harta, akhlaq mulia, rasa malu & pemurah.

Inilah yang menjadi bekal kami dalam memimpin anak-anak kami. Panglima rumah tangga adalah aku sebagai kepala rumah tangga. Menghadapi ‘gempuran’ badai dan cobaan dari luar. Panglima anak-anak kami adalah isteriku. Mengahadapi kuatnya ‘godaan’ model kehidupan dan teknologi informasi yang begitu deras menghujam. Berbagi, suatu hal yang sulit di awal. Namun menjadi nyaman setelah berjalan.

Kami siapkan anak-anak kami, sebagaimana dicontohkan Rosulululloh, para sahabat dan para pengikut sunnah. Hal ini yang seringkali memunculkan pertanyaan menggelitik dari anak-anak kami. Seringkali ibunyalah yang dapat memberikan jawaban cerdas untuk mereka. Kami tidak terbiasa untuk menggurui. Namun kami biasakan untuk saling berbagi dengan cara diskusi. Sehingga hal-hal ‘aneh’ seperti yang anak-anak lakukan di sekitar kami. Mereka tak tertarik untuk melakukan. Contohnya, saat melihat anak-anak tetangga berkelahi. Anak kami datang melerai, bahkan terkadang memarahi mereka. Meskipun postur tubuh putera kami lebih kecil dibandingkan mereka. Sesekali saya tersenyum melihat kejadian itu.

Saat isteriku mengajar, tak segan dia mengajak ‘sekolah bersama’. Semi homeschooling menjadi pilihan kami. Saat mengajar atau di kantor pun mereka aku ajak. Tapi ibunyalah yang paling sering mendampingi. Sekali lagi, alhamdulillah, ibu mereka berhasil menjadirole modele ibu pekerja keras. Tak ada kata tidak bisa untuk berbagi bersama anak-anak. Sebab anak-anak adalah amanah dari AllohTa’ala yang tak boleh kami sia-siakan.

Sehingga saat mereka masuk ke pondok pesantren formal dan tahfdzul Qur’an, mereka sendirilah yang memilih. Di usia 6-7 tahun mereka telah pergi ke luar untuk menuntut ilmu. Semata-mata agar kelima hal seperti nasihat Khalifah Lukmanul Hakim dapat terwujud. Ibunya lah yang kuatkan hati dan tekad mereka. Meski seringkali kami menangis karena rasa kangen mendera. Kami kuatkan hati kami. Demi untuk kuatkan hati mereka. Sebab merekalah nanti yang akan menjadi calon pemimpin negeri. Membentuk mental pemimpin, yang tidak hanya bisa menjadi pimpinan saja.

“Umi dan abi nangis tidak kalau kangen,” demikian seringkali dulu mereka bertanya.

“Umi nangis, nak. Tapi dalam tangis umi selalu doakan agar anak-anak diberi kesehatan dan kekuatan iman,” demikian biasanya isteriku yang menjawab duluan.

Dalam kunjungan bulanan pun biasanya kami beri kesempatan mereka untuk menangis. Tumpahkan segala kangen, kekesalan, kemarahan atau apapun itu agar mereka menjadi tenang. Sebab dunia mereka tetaplah dunia anak-anak. Dimana canda, tawa serta tangis adalah menjadi hak mereka. Namun hal itu kadang mereka sendiri yang menegasikan.

“Nggak nangis, mi. Malu. Ana kan sudah besar,” demikian jawab diplomatis anak kami terkecil yang berusia 9 tahun.

Oh, anakku berterima kasihlah kalian pada ibumu yang luar biasa. Demikian biasanya aku bergumam dalam hati. Aku punya keyakinan, tanpa aku minta pun suatu saat mereka akan sampaikan itu. Bukan hanya dengan kata-kata. Namun dengan sikap mereka yang memang kami siapkan untuk menjadi pemimpin yang tangguh. Seperti ibu mereka.

1 Komentar

11 Oct 2013 22:59

subhanalloh. smoga Alloh selalu berikan kebaikan untuk semua.