Isteriku Kelak Menjadi Ibu Pemimpin

Oleh Samuel Edward 21 Oct 2013

#LombaBlogNUB

Tidak dapat dipungkiri, peran seorang ibu memang sangat besar sekali bagi proses tumbuh-kembang dan pembentukan masa depan anak. Memang sudah menjadi anggapan umum yang rupa-rupanya dianut oleh semua bangsa di seluruh dunia bahwa perempuan kebagian tugas dan tanggung jawab untuk menata keluarga, tidak peduli apakah ia, perempuan bersangkutan, juga bekerja mencari penghasilan dan berkarier di luar rumah ataukah secara penuh-waktu bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Saya seorang laki-laki. Saya pun belum menikah. Namun, suatu saat nanti ketika saya menikah, dapat dipastikan pundak isteri saya juga takkan luput dari “beban terhormat” tersebut. Baik-buruknya keadaan keluarga, beres-kacaunya kondisi sang kepala keluarga dan anak-anak, semuanya seolah ditentukan oleh kinerja sang nyonya dan ibu rumah tangga. Makanya, saya sering mendengar pepatah “Di balik kesuksesan seorang pria, terdapat seorang wanita”. Dan makna senada juga berlaku buat kegemilangan hari depan anak-anak.

Secara pribadi, saya pasti akan bangga sekali apabila nanti isteri saya menjadi tokoh penentu di balik kebesaran saya dan anak-anak saya. Akan tetapi, meski begitu, ada juga sedikit ganjalan dalam pikiran saya. Tetap saja ada yang tidak benar menurut pemandangan saya.

Ini terlebih berkaitan dengan soal tumbuh-kembang anak-anak ke depannya, seperti yang tadi saya singgung. Sungguh mudah bagi saya sebagai ayah untuk mengklaim pengakuan dari semua orang juga bilamana anak kami menjadi orang yang hebat, seberapapun besarnya kemungkinan bagi isteri saya sebagai ibu untuk terlebih dulu menerima penghormatan tersebut. Tapi sedihnya, hal itu juga berlaku sebaliknya, alangkah mudahnya saya melepaskan diri dari tanggung jawab sebagai ayah jikalau anak saya melakukan hal-hal yang jahat, dan hampir pasti isteri sayalah yang lebih dulu menjadi “kambing hitam” dan dipandang lebih besar “dosanya”!

Saya akui, mungkin memang lebih mungkin anak menjadi hebat karena ibunya saja yang becus sementara ayahnya tidak, ketimbang karena hanya ayahnya yang becus sedangkan ibunya tidak. Jujur saja, saya belum pernah melakukan riset tentang hal itu dan belum pernah membaca dan mendengar ada riset seperti itu, tapi, secara nalar berdasarkan pengalaman saya, memang sangat mungkin seperti itulah yang terjadi. Namun, saya merasa tidak adil kalau salah satu pihak lebih diuntungkan sedangkan pihak lain posisinya lebih rawan karena merupakan “calon kuat sebagai tumbal” secara demikian!

Karena itu, saya sejak dini sudah berkomitmen dengan calon isteri saya bahwa baik kemuliaan maupun tanggung jawab harus kami terima dan emban bersama-sama dengan porsi yang sama. Buat saya, suami adalah pemimpin, bukan atasan, dan isteri adalah penyokong, bukan bawahan. Anak yang kelak dianugerahkan ke dalam keluarga kami adalah anak kami berdua. Jadi, tanggung jawab kami berdua terhadap si anak adalah sama. Jika saya berhak atas penghargaan yang sama dengan yang diberikan kepada isteri saya atas kehebatan anak kami, maka mengapa saya tidak memikul konsekuensi yang sama dengan isteri saya untuk membenahi ketidakbenaran anak kami? Anak itu jelas adalah anak saya juga, jadi kenapa seluruh beban untuk mendidik dan membentuknya harus ditaruh lebih banyak, atau bahkan seluruhnya, di bahu isteri saya?

Kami berdua banyak membekali diri. Pengalaman orang-orangtua kami sendiri dan juga para kerabat dalam membina keluarga sudah banyak kami kaji. Sumber-sumber lain dari buku dan media massa yang juga membahas psikologi, pendidikan, dan lain sebagainya tidak ketinggalan pula kami jadikan referensi. Dengan semua itu, kami dapat menyusun visi dan misi keluarga kami, serta juga merancang tindakan-tindakan konkret yang mesti kami ambil. Terutama, dan khususnya yang akan saya paparkan dalam tulisan ini, dalam hal membentuk karakter dan moral anak kami agar menjadi pribadi yang unggul. Dan kami menyadari, perihal menjadi pribadi unggul sama sekali tidak dapat dilepaskan dari jiwa kepemimpinan. Maka, saya setuju ketika “Nutrisi untuk Bangsa” menekankan hal pembentukan anak menjadi pemimpin.

Sebagaimana sudah saya katakan di atas, saya mudah sekali menuai pujian atas kegemilangan anak saya, yang belum tentu ada andil saya di dalamnya akibat sangat longgarnya “kewajiban” yang dikenakan masyarakat kepada para ayah atas pendidikan anaknya, tapi tidak demikian dengan isteri saya selaku ibu. Oleh sebab itu, yang saya tonjolkan ke depan sebagai pelaku utama adalah isteri saya. Beberapa hal harus dikerjakan bersama-sama oleh isteri saya dan saya sendiri. Namun, beberapa lagi dibagi-bagi di antara kami berdua, layaknya pembagian tugas antara Pak Jokowi dengan Pak Ahok. Pembagian ini berdasarkan pertimbangan bahwa ada hal yang lebih optimal bila dikerjakan oleh ibu daripada oleh ayah, dan ada juga hal yang sebaliknya, lebih optimal dilakoni ayah dibandingkan oleh sang ibu, meskipun memang tidak ada salahnya juga jika siapa saja, baik ayah maupun ibu, melakukannya. Nanti akan lebih jelas saya rincikan. Yang juga tak kalah penting, kami sepakat untuk melakukan semua ini kepada anak laki-laki dan juga anak perempuan. Tidak ada pembedaan. Karena, kaum wanita pun manusia, jadi, sama saja dengan pria, secara intrinsik memiliki potensi kepemimpinan yang tidak akan berarti dan menjadi apa-apa apabila tidak digali, dibakar, ditempa, diasah, dipoles, dan dibentuk dengan benar.

1. Isteri saya nanti akan menghormati keberadaan anak kami sebagai seorang pribadi manusia seutuhnya. Begitu pula saya.

Secara eksplisit, bisa dipastikan, semua orangtua akan berkata gamblang bahwa mereka jelas mengakui kalau anak mereka itu memang seorang manusia utuh. Namun, dalam prakteknya, pemikiran sebagian besar orangtua dicerminkan jelas dari perlakuannya terhadap sang anak, yakni bahwa sebetulnya orangtua, dengan seribu-satu alasan, tidak mengakui anak mereka sebagai individu manusia yang sepenuhnya terpisah dan berbeda dari orangtuanya. Orangtua, terutama ibu, secara naluriah, sangat bertendensi memandang anaknya sebagai bagian dari dirinya, bukan sebagai pribadi yang benar-benar terpisah dan berbeda. Dan hal itu tercermin jelas dari perlakuan terhadap anak. Setelah berusia 6 tahun, semestinya seorang anak sudah mulai belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tapi kenyataannya? Banyak yang bahkan hingga mulai beranjak dewasa pun belum mampu. Hal ini diakibatkan orangtua yang terus-menerus mengurusi urusan pribadi sang anak.Anak mendapat PR dan tugas dari guru di sekolah, orangtua yang sibuk mengerjakan, sementara sang anak asyik saja bermain. Buku-buku dan perlengkapan belajar untuk bersekolah keesokan hari diurus oleh orangtua, anak sama sekali tidak tahu apa-apa karena memang dia tidak mau tahu-menahu akibat memang dibiasakan manja, tidak memikirkan urusannya sendiri. Alasan orangtua melakukan itu amatlah klasik. Karena sayang. Ya… sayang pada diri mereka sendiri, sebenarnya, bukan pada anaknya…! Saya tahu, ini terdengar kejam dan sok tahu. Kejam, saya agak setuju. Sok tahu, saya sama sekali tidak sependapat. Karena, saya pun harus jujur pada diri sendiri ketika menjumpai kesimpulan tersebut…. Kita, orangtua, tidak mau merasa sedih bilamana anak kita sampai kenapa-kenapa akibat tidak mengerjakan PR. Kita tidak sudi ada kerepotan melintasi mata kita karena melihat si buyung atau si upik yang pontang-panting menyiapkan peralatan sekolahnya. Kita tidak tahan merasakan panasnya kuping kita yang mendengar desah nafas kecapekan anak-anak saat sedang sibuk belajar dan bekerja keras menangani segala urusan pribadi mereka sendiri…. Coba perhatikan baik-baik kalimat-kalimat tersebut. Bukankah semuanya bernada egoistis?

Maka, saya tidak mau diri dan isteri saya nanti seperti itu. Kami berkomitmen untuk melakukan yang sebaliknya. Anak-anak akan kami perlakukan sebagai manusia seutuhnya, pribadi yang punya hak dan kewajiban penuh sebagai manusia untuk bertanggung jawab atas pribadi dan urusan pribadinya sendiri. Kami sungguh paham, prakteknya tidaklah sesederhana dan segampang mengatakan atau menuliskannya dalam teori. Tapi, bukankah tidak ada kemuliaan tanpa pengorbanan, dan bahwa semakin besar pengorbanan yang kita bayarkan maka akan semakin besar pula kemuliaan yang kita peroleh? Lagipula, hal itu juga sudah tentu merupakan bahan pembelajaran dari kami selaku orangtua buat anak-anak kami, sehingga mereka pun bisa mengerti arti besar dari pengorbanan dalam perjuangan.

Kesimpulannya, seseorang tidak mungkin dapat menjadi pemimpin jika tidak bertanggung jawab, sebab tanggung jawab adalah salah satu elemen utama kepemimpinan. Di dalam tanggung jawab, ada disiplin, kemandirian, dan kepercayaan diri, yang semuanya juga merupakan unsur-unsur esensial dari kepemimpinan. Dan takkan mungkin kita mampu bertanggung jawab atas banyak orang dan hal-hal yang besar bilamana kita belum sanggup bertanggung jawab atas diri kita sendiri untuk hal-hal yang paling sepele. Juga, kemuliaan seorang pemimpin bergantung penuh pada dedikasinya: kian besar pengorbanan dan pengabdiannya terhadap tugas dan orang-orang yang dipimpinnya, kian tinggi juga kemuliaan yang dipancarkannya. Maka, supaya anak kami dapat menjadi pemimpin yang hebat, sang ibu akan memperlengkapinya sedini mungkin dengan “pelatihan-pelatihan” tersebut. Dan saya, ayahnya, pasti setia turut melakukan hal yang sama bersama sang ibu.

2. Isteri saya kelak akan melimpahi anak kami dengan segala energi positif, serta sebisa mungkin menghindari kata “jangan”. Saya juga.

Sekarang ini, istilah “energi positif” tambah banyak dipakai sehubungan bertambahnya kebutuhan akan “komoditas” satu ini di tengah situasi dunia dan kehidupan yang makin lama makin terasa mengancam dan mengimpit. Beberapa energi positif yang dapat saya sebutkan di antaranya adalah optimisme, penyikapan secara positif, dan sukacita. Banyak sekali hasil yang bisa kita petik dari pengembangan energi positif. Tapi, semua hasil itu dapat saya kelompokkan menjadi 3 karakter, yaitu spirit yang berdeterminasi tinggi, jiwa yang sangat kreatif-inovatif-inisiatif, dan wawasan yang mahaluas. Spirit yang berdeterminasi tinggi membuat seseorang menghilangkan kata “menyerah” dalam kamusnya, juga memiliki daya dobrak yang kuat sekali. Jiwa yang sangat kreatif-inovatif-inisiatif menjadi kekuatan yang tak tertahankan untuk membuat perubahan demi perubahan, pengembangan demi pengembangan, kemajuan demi kemajuan, tanpa henti. Wawasan yang mahaluas menjadikan kita dapat melihat sesuatu dengan pandangan “mata elang”, dari atas, artinya: menyeluruh dan tak terhalangi, sehingga tidak berpikir secara parsial dan tidak akan mengambil kesimpulan maupun keputusan berdasarkan pertimbangan yang tidak/kurang matang. Daya dobrak yang tinggi untuk membuat segala perubahan dan kemajuan tanpa henti yang dilakukan melalui sebuah keputusan yang bijaksana hasil dari penginderaan yang luas dan pemikiran yang matang itulah yang menjadi ciri khas kepemimpinan dan insan pemimpin besar! Nah, itulah alasan mengapa isteri saya merasa wajib menebarkan energi positif sepekat mungkin ke atmosfer kehidupan keluarga kami, istimewanya kehidupan pribadi anak kami. Dia ingin selalu menciptakan tawa dan senyum di dalam keluarga, dimulai dari dirinya sendiri dan saya, ditujukan terutama bagi anak kami. Isteri saya juga mau selalu ingat untuk menyikapi segala hal dan kejadian secara positif, menghindari segala respon yang negatif. Tujuannya agar itu menjadi contoh dan pembiasaan di dalam keluarga kami supaya anak kami pun lama-kelamaan hanya terbiasa berespon dan bersikap positif pula dalam menghadapi orang, situasi, dan keadaan yang bagaimanapun buruk dan sulitnya. Dan yang pasti, isteri saya juga akan selalu mau ingat untuk bersikap optimis terhadap masalah dan kesukaran sebesar apapun. Jadi, anak kami pun akan memiliki jiwa optimisme yang sama. Saya, suaminya, tentu akan proaktif bergerak beriringan mengembangbiakkan semua energi positif itu dengan sang ibu dari anak kami.

Tapi, kami juga menyadari sesuatu. Energi positif butuh latar belakang dan kondisi pendukung. Itulah yang menjadi fungsi dari keberanian dan kebebasan. Seseorang akan sangat sukar menyerap, apalagi mengembangkan sendiri, energi positif bagi diri dan lingkungannya jikalau ia cenderung memiliki jiwa penakut dan terkungkung. Lagian, bagaimana mungkin pula kita sanggup mendobrak dan melakukan perubahan kalau kita sendiri takut serta ragu dalam bertindak dan diri kita sendiri masih belum bebas secara mental-spiritual? Dan bagaimana juga kita mau menjadi kreatif dan inovatif serta menjadi orang yang senantiasa memegang inisiatif apabila pikiran dan wawasan kita masih kita penjarakan serta tidak berani memikirkan dan mengimajinasikan hal-hal di luar kelaziman yang kita kenal dan zona nyaman kita? Saya kira, tidak ada pemimpin hebat yang penakut, peragu, pemalu, dan peminder, yang betah lama-lama mengurung jiwanya dalam tembok imajiner yang diciptakannya sendiri. Karena itu, isteri saya bertekad hendak membuang jauh-jauh tindakan menakut-nakuti terhadap anak kami. Dia tidak mau mengulang kesalahan para orangtua Indonesia pada umumnya, yang, entah kenapa, gemar menakut-nakuti anak-anaknya dengan ancaman hantu atau makhluk jahat lainnya bila si anak tidak mau makan, atau hobi menceritakan cerita-cerita seram dan horor serta pesimistis kepada anak-anaknya untuk “menghibur” dan “dongeng sebelum tidur” ketimbang cerita-cerita yang motivatif. Jangan salah kira. Menurut saya, bisa saja dalam sebuah cerita, tokohnya adalah makhluk halus/makhluk astral, tapi dikemas menjadi cerita yang sangat bernilai moral tinggi serta sarat pendidikan, semacam Casper. Di samping itu, isteri saya pun sudah berniat menjauhkan penggunaan larangan dan kata “jangan” bila berbicara kepada anak kami. Menurut kami, memberitahukan bahaya atau sesuatu yang tidak baik kepada anak kita tidak harus dengan cara melarang, tapi adalah berkali-kali lipat lebih baik apabila dilakukan dengan cara memberitahukan, menyarankan, menganjurkan, dan boleh juga sedikit mendesak (asal tidak memaksa) untuk mengambil tindakan lain. Misalnya, daripada berkata: “Jangan lari-lari! Nanti jatuh!”, adalah puluhan kali lebih bermanfaat kata-kata seperti: “Hati-hati ya, Nak! Jalan yang pelan saja, lebih enak buat kakimu, lho!”. Selain itu, hemat kami, semakin banyak kita melarang anak, semakin menyempit pula keberanian, daya imajinasi, daya inovasi, dan kreativitasnya, sebab, anak-anak butuh ruang seluas-luasnya untuk mengeksplorasi dunia Tuhan yang mahaluas yang sarat dengan berbagai kemungkinan dan hal-hal tak terduga ini. Dan saya, sebagai suami dan ayah yang baik, tentu saja bergerak bersama-sama isteri saya dalam menanamkan semua keberanian dan kebebasan bagi anak kami.

3. Isteri saya akan mengembangkan cinta kasih kepada saya, suaminya. Saya akan melakukan yang sama terhadapnya pada saat yang sama. Lalu kami berdua akan mengembangkan cinta kasih kami itu kepada anak kami.

Saya dan calon isteri saya sepakat untuk membarakan cinta kasih di antara kami berdua secara lebih hebat lagi berkali-kali ganda setelah kami menikah. Dan api cinta itu akan terus lebih kami kobarkan seiring perjalanan waktu.

Yang akan kami lakukan untuk merealisasikan itu adalah sebagai berikut:

a. Isteri saya akan terus membiasakan diri memberikan sentuhan, senyuman, pelukan, kecupan, dan pujian yang tulus dan hangat kepada saya, sebagaimana saya melakukannya juga terhadap dirinya.

b. Isteri saya akan menjaga komitmen untuk selalu menyediakan hati, kehadiran, dan telinga buat curhatan dan keluh-kesah serta beban pikiran saya, sebagaimana saya terus setia melakukannya juga untuknya.

c. Isteri saya akan tetap menjaga intonasi dan siratan kalimat ucapannya terhadap saya supaya senantiasa hangat (tidak dingin dan juga tidak panas), sekalipun saat itu sedang menyampaikan suatu koreksi atau kritik halus, dan kondisinya sedang tegang. Dan saya pasti secara berbarengan juga melakukan penghormatan yang sama untuk isteri saya.

d. Isteri saya akan menjaga agar nama dan reputasi saya tetap baik di hadapan semua orang, termasuk di depan anak dan keluarga besar kami, namun tanpa berbohong dan menebar kepalsuan-kemunafikan, seperti halnya saya juga melakukan semua itu sepenuh hati untuk membela nama dan reputasi baiknya.

e. Isteri saya akan melakukan poin a. sampai d. di atas terhadap anak kami juga. Saya pun melakukan hal yang sama pada saat yang sama.

Mengapa kami berdua, saya dan isteri saya, melakukannya terhadap satu sama lain terlebih dahulu baru kemudian mengaplikasikannya juga terhadap anak kami? Ada beberapa alasan.

Pertama, kepemimpinan juga adalah soal kepedulian yang tanpa pamrih, dan kepedulian yang semacam itu hanya bias didapatkan dari cinta kasih. Tanpa kasih, kepedulian hanya akan menjadi alat untuk memanipulasi orang atau pihak lain manapun untuk mendapatkan kepentingan kita sendiri. Jadi, ada agenda terselubung di baliknya, yang biasa disebut “pamrih”, yang hampir selalu berbobot lebih besar ketimbang perbuatan baik dan kepedulian kita sendiri. Namun, dengan kasih, kita akan melakukan segala kebaikan, perhatian, dan kepedulian terhadap orang lain dengan tujuan semata-mata agar obyek kasih kita itu mendapatkan kebaikan dan terpenuhi kepentingannya.

Kedua, melakukan terlebih dahulu terhadap pasangan kami sendiri satu sama lain merupakan pemberian contoh yang tidak memerlukan lagi lebih banyak saran ataupun nasehat verbal terhadap anak kami.

Ketiga, tidak akan mungkin isteri saya dan saya sendiri akan tetap konsisten melakukan pencontohan tersebut apabila kami sendiri tidak terbiasa melakukannya. Kalau kami tidak terbiasa, maka akan kelihatan bahwa kami berpura-pura, tidak tulus dalam menerapkan pola hidup penuh cinta kasih satu sama lain. Jika anak kami mengetahuinya, dan anak-anak memang pandai mendeteksi hal-hal sesensitif itu, ia tentu tidak akan mengindahkan contoh-contoh yang kami berikan. Bagaimanapun, kepemimpinan juga adalah soal kekonsistenan. Tidak akan ada kepemimpinan yang hebat dan langgeng tanpa konsistensi antara kata dengan perbuatan dan antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain dari sang pemimpin.

4. Isteri saya kelak akan memperkenalkan anak kami kepada orientasi, tatanan, sensitivitas, dan kerendahan hati, sementara pada saat bersamaan, saya akan menajamkan karisma, kemampuan manajerial, dingin kepala, dan kemantapan hati.

Manusia adalah makhluk sosial. Sudah semestinya setiap orang belajar beradaptasi dengan lingkungannya, menghargai adat dan budaya dari masyarakat di mana ia tinggal, serta mengembangkan rasa saling menghormati kepada sesama manusia, terutama yang tinggal dalam lingkung yang sama. Dengan kata lain, kita, manusia, wajib berorientasi terhadap situasi dan kondisi lingkungan sejak awal sekali. Lebih lanjut, kita juga harus belajar tunduk terhadap aturan yang berlaku di lingkungan kita. Seluruh pranata dan norma wajib kita junjung tinggi. Belajar menaklukkan diri terhadap tatanan adalah keniscayaan bagi kita selaku makhluk sosial. Untuk itu, kita perlu memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Sebab, bila tidak, kita, paling parah, akan dipandang menderita anti-sosial (dianggap sebagai “psikopat”), atau paling ringan, mungkin dianggap menderita autisme, bilamana kita tidak atau kurang mengindahkan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat di mana kita berada dan tinggal! Dan melatih kepekaan agar tetap menghormati orang lain dan kepentingan serta aturan umum memerlukan pula sikap kerendahan hati, kemauan untuk memandang orang lain lebih utama daripada diri sendiri.

Orientasi, tatanan, sensitivitas, dan kerendahan hati itu harus sejak dini sekali ditanamkan menjadi atmosfer jiwa seorang anak. Ini bukan hanya akan membentuknya menjadi manusia yang disenangi banyak orang, akan tetapi juga justru mampu membentuknya lebih cepat menjadi seorang pemimpin, dan ketika sudah menjadi pemimpin, ia akan menjadi pemimpin yang baik dan dicintai. Sebab, seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang dulu (bahkan sampai sekarang dan seterusnya!) merupakan “pengikut” dan “hamba” yang baik.

Itulah yang hendak diperkenalkan oleh isteri saya kepada anak kami kelak semenjak awal. Memang, saya pun bisa melakukannya, tapi semua itu akan jauh lebih efektif bilamana diterapkan secara dominan oleh seorang ibu. Femininitas lebih dekat dengan orientasi terhadap lingkungan, penundukan diri terhadap tatanan yang berlaku, kepekaan terhadap orang lain dan lingkungan, serta kerendahan hati untuk bersedia terus dibentuk. Lagipula, masih tetap berkaitan dengan unsur femininitas di dalam diri perempuan, ibu-ibu jauh lebih efektif menerapkan aturan dalam kehidupan anaknya, melatih anaknya menyesuaikan diri, mengasah kepekaan sang anak, serta menaklukkan egoisme dan arogansi yang mengancam untuk bertumbuh subur dalam diri anak.

Di waktu bersamaan, kepemimpinan juga membutuhkan karisma diri yang tinggi sebagai pemimpin, kemampuan manajerial dan organisatorial yang mumpuni, kepala dingin yang fokus dan amat tidak mudah terpengaruh dalam melihat permasalahan dan mengambil keputusan, serta kemantapan dan militansi hati yang kokoh dalam memegang kebenaran sehingga sangat tidak gampang menjadi plin-plan oleh perubahan sefluktuatif apapun.

Itulah tugas saya sebagai ayah bagi anak-anak saya! Dan saat saya melakukannya, apa yang diperbuat isteri saya sudah cukup mengompensasinya agar tidak terjadi ekses dalam diri anak kami akibat terlalu sadar akan harga diri, terlalu percaya diri, terlalu terbiasa mengatur tanpa pernah merasakan diatur, dan menjadi fanatik (bukan militan) akan hal apapun.

5.Isteri saya nanti akan mengembangkan rasa aman, sementara saya sendiri menumbuhkan “sense of crisis” dalam diri anak kami.

Kita sudah maklum, jika seseorang terdesak, semua potensi dirinya akan keluar. Setiap puing kreativitas sekecil apapun akan mencuat ke permukaan. Kita tidak pernah menyangka dan terpikir bahwa kita akan sanggup mengerjakan “anu” saat sedang berada dalam kondisi normal, tapi ketika kita berada dalam situasi kritis, kita terkaget-kaget, kita mampu melakukan hal tersebut, bahkan dengan sangat baik.

Krisis sangat berguna meningkatkan kualitas. Terutama kepemimpinan. Seorang pemimpin yang hebat adalah orang yang terbiasa menciptakan “sense of crisis” di dalam dirinya demi hasil yang optimal. Dan itulah yang akan saya, sebagai ayah, terapkan terhadap anak kami.

Akan tetapi, “sense of crisis” akan sangat berbahaya terhadap kesehatan dan kehidupan mental bahkan spiritual manusia apabila tidak diimbangi dengan keteduhan dan rasa aman yang dapat dikembangkan orang tersebut sendiri di dalam hatinya. Untuk itulah, isteri saya, sebagai ibu, berkat kualitas femininitas dan keibuan yang melekat padanya, mengemban kewajiban untuk mengimplementasikan rasa aman tersebut dalam diri anak kami.

6. Isteri saya akan mengembangkan kemampuan berinterospeksi, sementara saya menumbuhkan kemampuan menginspeksi dalam diri anak kami.

Terakhir, seorang pemimpin memerlukan pula secara seimbang kemampuan untuk menginspeksi (memeriksa kondisi yang terdapat di dalam segala hal selain dirinya sendiri) dan kemampuan untuk berinterospeksi (memeriksa kondisi yang terdapat di dalam diri sendiri semata-mata, bukan kondisi apapun di dalam hal di luar diri).

Memiliki kemampuan menginspeksi saja tanpa mempunyai kemampuan berinterospeksi akan mengakibatkan sang pemimpin menjadi diktator dan tiran, sangat egois dan munafik akibat tidak mampu melihat kelemahannya sendiri. Tapi sebaliknya, hanya mampu terus berinterospeksi tanpa  mampu sama sekali menginspeksi akan menyebabkan si pemimpin menjadi lemah, tidak berpendirian, bahkan hanya menjadi boneka saja dari pihak lain atau dari anak buahnya sendiri.

Dan adalah tugas isteri saya sebagai perempuan dengan femininitasnya untuk melatih anak kami berinterospeksi, sementara saya dengan maskulinitas saya membekali sang anak pada waktu bersamaan untuk menginspeksi lingkungannya.

Kesimpulan dari semua yang hendak calon isteri saya dan saya lakukan bagi anak kami adalah bahwa kami hendak membentuk anak kami menjadi pemimpin yang benar, sejati, dan luar biasa. Pada dasarnya, pemimpin bukanlah bos. Pemimpin juga bukanlah juragan. Pemimpin adalah penunjuk jalan. Orang seperti itu mestilah melihat tujuan yang pasti (visi). Untuk dapat melihat tujuan, dia juga harus menguasai medan sehingga dapat mengetahui jalan yang paling tepat, efisien, efektif, dan relatif paling aman untuk mencapai tujuan tersebut, serta juga menguasai benar cara menempuh jalan itu (misi). Dan jikalau memang tidak ada jalan menuju tujuan, sang pemimpin adalah orang yang mampu membuat dan membuka/merintis jalan baru yang optimal. Namun, yang juga dibutuhkan seseorang agar dapat menjadi pemimpin adalah kemampuan untuk meyakinkan orang lain bahwa tujuan yang divisikannya itu adalah tujuan yang benar dan jalan yang dimisikannya itu adalah jalan yang benar. Apa gunanya juga memiliki visi dan misi yang jelas dan benar namun tidak ada orang yang mau mengikuti? Dan terakhir, untuk dapat disebut sebagai pemimpin, orang tersebut juga mampu menjamin dirinya sendiri dan pengikutnya selamat tiba di tujuan tanpa kekurangan suatu apapun. Rintangan dan bahaya sebesar apapun tidak akan berdampakkan kerugian bagi siapapun yang ada di dalam kepemimpinannya, kendati semua itu menimbulkan sakit dan penderitaan tak terperi seperti apapun. Semua kepedihan akibat pencobaan dan ujian selama perjalanan tidak akan berarti apa-apa dibandingkan nilai yang amat berharga dari pelajaran sepanjang perjalanan dan kemuliaan dari tujuan yang dicapai. Pemimpin wajib memastikan terjadinya hal tersebut.

Maka itu, kami ingin anak kami menjadi mandiri, bertanggung jawab, bijaksana, rendah hati, dan menjadi seberkualitas hal-hal yang sudah saya tuliskan di atas.

Kami bertekad bukan hanya tidak memberikan ikan, namun kami juga tidak mau memberikan kail dan jalanya. Yang mau kami perbuat adalah selain mengajarkan dan terus melatih anak kami menangkap ikan dengan jala dan kail hingga benar-benar piawai, juga melatih sang anak agar pandai mendapatkan cara-cara untuk dapat memperoleh dan memiliki kail dan jala yang diperlukannya dengan cara-cara yang benar dan halal.

Dan isteri sayalah yang layak pertama-tama menerima bintang penghargaan saat semua itu berhasil, saat ia menjadi ibu dari pemimpin hebat!

(Artikel ini juga saya muat dalam blog pribadi saya http://sammyaddward.blogspot.com/2013/10/isteriku-kelak-menjadi-ibu-pemimpin.html)