Jangan [Sekedar] Hafal Rumus

Oleh hannawilbur 13 Oct 2013

Nothing in life makes us grow more than

Waktu masa sekolah ayahku sering menegurku, “Jangan hafalkan rumus! Pahami konsep dasarnya.”

Beliau adalah seorang dosen matematika, dan bagi beliau matematika bukan sekedar angka-angka mati; Angka-angka tersebut hanya suatu penyederhanaan kehidupan dan alat untuk menyelesaikan berbagai tantangan sehari-hari.

“Dalam kehidupan nyata tidak ada rumus yang pasti…” beliau berkata.

Sampai aku SMA ayahku masih suka ‘meneror’-ku menanyakan konsep-konsep apa saja yang sudah aku pahami. Beliau bertanya hal-hal seperti, “Kenapa rumus kosinus kayak gitu?” Aku terus diingatkan bahwa rumus hanyalah salah satu jalan yang sudah ditempuh oleh seseorang di masa lalu, dan yang penting pahami konsep dasarnya, maka akan terbuka banyak solusi untuk memecahkan berbagai tantangan.

Kalau dipikir-pikir sekarang, apa yang telah beliau tanamkan benar-benar menyelamatkan hidupku. Dalam kehidupan sekolah, aku seringkali menemukan berbagai jalan penyelesaian soal pelajaran dengan menggunakan logika ‘back to basic’ membantuku pada saat-saat genting aku lupa rumus. Aku juga tidak pernah diikutkan program bimbel oleh ayahku, beliau benci sistem menghafalkan rumus. Ok, rumus itu baik untuk menghemat waktu, tapi hanya setelah anak memahami konsep dasarnya.

Pendidikan ‘back to basic’ ini pun berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Ayah dan ibuku memanfaatkan waktu bertemu (beliau orang yang cukup sibuk) untuk berdiskusi dan membahas solusi. Mengotak-atik mulai dari hal besar, hingga hal kecil.

Menariknya, dalam mengotak-atik problematika hidup, kita juga akan menemukan bagian-bagian yang di luar perhitungan, dan solusinya di luar kebiasaan masyarakat—atau bahkan kebiasaan masyarakat adalah permasalahannya. Anggap pola kebiasaan dalam masyarakat adalah sebuah ‘rumus’, apakah itu satu-satunya rumus? Rumus itu membawa pada hasil apa? Bagaimana jika kita ingin hasil yang berbeda? Bagian mana dari rumus itu perlu diubah? Ketika terbiasa mengotak-atik seperti ini, kita jadi terbiasa memandang permasalahan secara lebih apa adanya. Hal terakhir ini khususnya penting bagi aku yang kadang (atau sering?) terbawa perasaan ketika melewati ‘panas-terik’ kehidupan.

Aku terjatuh, berguling-guling, duduk, menangis, melihat sekitar, membersihkan diri, lalu bangkit berjalan kembali. Life goes on... in a different way (kehidupan terus berjalan… dengan cara yang berbeda). Beruntunglah aku memiliki suami yang dapat aku ajak berdiskusi. Kami bisa berdiskusi hingga larut malam, mengotak-atik problema kehidupan dan solusi-solusi nyata yang dapat kami lakukan (atau minimal ‘akan’ dilakukan jika suatu saat mendapat kesempatan).

Kini, setelah aku menjadi seorang ibu, budaya ini ingin aku lanjutkan kepada anak-anak. Tantangan di hadapan mereka akan sangat berbeda. Pemahaman untuk menyederhanakan masalah, memahami konsep dasarnya, dan sikap berorientasi pada pencarian solusi akan memberikan mereka fondasi yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan di masa depan nanti. Ketika mereka terlatih melihat konsep dasar segala sesuatu, berlanjut dengan sikap berorientasi solusi, mereka akan menemukan berbagai jalan kreatif untuk menyelesaikan permasalahan dan menemukan peluang-peluang hebat.

Christ Martenson[1] pernah berkata, “The next 20 years will be completely unlike the last twenty years (dua puluh tahun yang akan datang tidak akan sama dengan dua puluh tahu yang telah lalu).” Peristiwa-peristiwa besar yang akan terjadi di tahun-tahun yang akan datang akan memunculkan polemik yang berkepanjangan bagi sebagian orang, dan akan memunculkan peluang-peluang besar bagi sebagian yang lain. Mengapa? Karena perubahan yang besar-besaran menyebabkan belum ditemukannya ‘rumus’ untuk melewatinya. Tentu saja ‘rumus’ itu ada, namun hanya bagi yang mampu melihatnya. Siapa yang akan melihatnya? Para pemimpin masa depan.

Aku harap anak-anakku akan menjadi ‘golongan’ yang dapat berselancar di atas gelombang kehidupan, dan termasuk para pemimpin yang membawa masyarakat ke arah yang baik.

Colin Powell ketika masih menjabat sebagai jenderal pernah berkata, “Great leaders are almost always great simplifiers, who can cut through argument, debate and doubt, to offer a solution everybody can understand (Para pemimpin hebat selalu penyederhana yang hebat, yang dapat memotong argumen, debat, dan keraguan, untuk menawarkan solusi yang dapat diterima semua orang).” Benar-benar ungkapan yang luar biasa! ‘Solusi yang ditawarkan’ hanya akan muncul dari orang-orang yang sebelumnya mampu melihat apa yang orang lain tidak melihat, ini berawal dari insting yang terlatih untuk menyederhanakan masalah—menemukan dasarnya/akarnya dan tidak hanya mau berpegang ‘teguh’ pada rumusan-rumusan yang ada yang (belum tentu) membawa pada penyelesaian masalah.

Budaya ini ditanamkan pada anak-anak melalui hal-hal sehari-hari, khususnya dari aku sebagai ibu yang paling banyak melewatkan waktu dengan mereka. Hal sederhana seperti bagaimana aku menjaga kedekatan kepada Yang Maha Pencipta, menjaga rasa penasaran, kerendahan hati untuk mengakui aku tidak memiliki semua jawabannya, tapi mau membuka diri untuk bersama-sama memahami berbagai hal, mau melihat dari berbagai sisi, dan selalu berusaha mencari solusi dan peluang dalam setiap kesempatan. Kebiasaan ini juga terlatih dengan diskusi-diskusi seru di meja makan dan/atau saat kumpul keluarga. Ketika melihat sesuatu, lalu mendiskusikannya. Mendengarkan pendapat anak-anak, dan menghargai solusi kreatif yang mereka tawarkan, lalu mendukung project-project yang anak-anak lakukan.

Tentu saja perjalanan masih panjang, dan begitu banyak yang perlu terus dipelajari, namun aku sadar bahwa hal besar yang perlu aku bimbing untuk anak-anak pahami sebagai para pemimpin generasi berikutnya berawal dalam sebuah ungkapan sederhana: “Jangan [sekedar] hafal rumus.”


[1] Penulis The Crash Course.

———————-

LOMBA BLOG -PERAN IBU UNTUK SI PEMIMPIN KECIL-nub10
#LombaBlogNUB