Kami butuh makanan bukan bom!

Oleh sofi oktaviani 15 Mar 2012

Bumi ini sesungguhnya cukup kaya untuk bisa menghidupi semua mahluk yang hidup didalamnya dan mendapatkan makanan yang layak adalah hak bagi setiap orang yang bermukim didalamnya. Namun kapitalisme telah membutakan mata kita yang telah menjadikan makanan sebagai sumber keuntungan dan bukan sebagai sumber nutrisi. Setiap harinya ada begitu banyak sisa-sisa makanan yang terbuang percuma di restoran-restoran besar di negeri ini sementara itu ada begitu banyak anak-anak jalanan yang berjuang mati-matian melawan rasa laparnya. Ada jenjang kehidupan sosial yang sangat mendasar jika kita menilik kehidupan di negeri ini. Koruptor tumbuh dengan sangat subur dan seakan-akan membutakan mata kita bahwa 230 ribu anak-anak jalanan di Indonesia tengah berjuang hanya demi mendapatkan makanan layak tiap harinya. Indonesia sadar nutrisi seakan-akan menjadi cita-cita yang teramat berat bagi saya pribadi, kemiskinan telah membentuk sebuah pola pikir bertahan yang cukup unik di masyarakat kita ‘apapun yang dimakan yang terpenting adalah bisa mempertahankan hidup’ dan hal inilah yang semakin mengukuhkan stereotip masyarakat tentang gizi bahwa gizi adalah sebuah kebutuhan makanan yang mahal. Untuk menciptakan kesadaran masyarakat tentang gizi adalah bukan sebuah proses yang instan. Bagi saya pribadi menyerahkan sepenuhnya urusan nutrisi bagi bangsa ini kepada pemangku kebijakan adalah hal yang kurang bijak, gizi masyarakat adalah tanggung jawab kita bersama.

Food Not Bombs (FNB), mungkin sebagian besar dari kita belum mengenal pergerakan ini. Food Not Bombs lahir dari gerakan anarkis yang menolak penyerapan anggaran yang cukup besar untuk membiayai militer (senjata) dan perang, padahal masih banyak manusia yang mengalami kelaparan. Food Not Bombs dengan aktivitas pergerakanya begitu cepat menyebar, dari Amerika Utara, Eropa hingga negara-negara Asia termasuk Indonesia. Aksi yang dilakukan oleh FNB adalah dengan memberikan makanan vegetarian gratis untuk orang-orang miskin dan untuk mereka yang tidak mampu membeli makanan. Bahan makanan yang mereka kelola sebagian besar mereka dapatkan dari sayuran-sayuran yang tidak lolos quality control di supermarket yang kemudian dikembalikan ke distributornya. Mereka bekerjasama dengan distributor untuk mengelola bahan makanan yang tidak lolos quality control tersebut dan membagikanya kepada orang-orang miskin. Namun yang perlu ditekankan disini adalah bahwa aksi yang dilakukan oleh FNB adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal. FNB sendiri mempunyai visi dalam pergerakanya, bukan hanya sekedar membagikan makanan-makanan gratis bagi orang-orang miskin. Dalam setiap aksi yang dilakukan oleh FNB mereka membagikan wacana kepada masyarakat sehingga mereka akan menyedikan space khusus untuk literatur tentang isu yang diangkat oleh komunitas FNB tersebut. Hal inilah yang menjadi menarik, jika kita menyebutkan FNB sebagai kegiatan amal maka kita akan gagal untuk mengkritisi dan mencari akar penyebab dari kemiskinan yang ada di negeri ini. Namun dengan pembagian literatur-literatur yang sebagian besar berfokus pada isu pangan maka diharapkan masyarakat mampu menilai kondisnya yang sekarang.

Bagi saya FNB mampu menjadi salah satu jalan untuk mengatasi persoalan nutrisi bagi bangsa ini terutama bagi kebutuhan nutrisi ibu dan anak. Jika kita berbicara mengenai Indonesia maka fokus kita juga harus mengarah pada orang-orang miskin dan anak-anak jalanan. Artinya untuk menumbuhkan masyarakat yang sadar nutrisi kita tidak bisa hanya berfokus kepada masyarakat tertentu saja namun harus mampu menjangkau secara keseluruhan termasuk anak-anak jalanan yang jangankan mendapatkan makanan bergizi, bagi mereka ada makanan yang masuk kedalam perutpun dirasa sudah cukup. FNB telah mengajarkan pada kita semua bahwa negeri ini tidak akan kehabisan bahan makanan untuk dapat diolah. Mereka mampu menunjukan bahwa untuk mengatasi masalah pangan mereka mampu mengatasinya secara mandiri dengan sebuah aksi pergerakan nyata ‘kita sendirilah yang harus saling membantu’. Ada begitu banyak bahan makanan yang loss control quality setiap harinya dan jika kita mampu untuk merangkul distributor-distributor atau mencari donasi bahan makanan maka FNB akan menjadi pintu gerbang salah satu jalan mengatasi permasalahan gizi di negeri ini.

Satu hal yang menjadi prinsip bagi FNB adalah anti-kekerasan dan konsesus,  FNB sendiri bergerak tanpa terkooptasi oleh pemerintah. Mungkin akan sedikit menjadi rancu jika disini saya menghadirkan FNB sebagai solusi nutrisi untuk bangsa yang kini tengah menjadi fokus perhatian pemerintah. Namun saya rasa pesan yang diusung oleh FNB adalah jelas bahwa di bumi yang kaya ini tidak ada satu orangpun yang berhak kelaparan. Hal ini telah dilakukan oleh FNB sejak awal terbentuknya, ketika beberapa negara sibuk mengalokasikan dana untuk pembelian peralatan perang, FNB bergerak secara nyata bahwa penghuni bumi ini membutuhkan makanan yang layak untuk hidup dan bukan bom. FNB mempromosikan kehidupan yang lebih sehat dengan makanan yang dikelolanya.

Space yang disediakan oleh FNB untuk isu-isu yang diangkat dapat memberikan ruang untuk menyebarkan wacana mengenai nutrisi bagi bangsa ini jika kita mau untuk mengangkat isu nutrisi bagi bangsa ini. Mengenai sterotip masyarakat yang menyatakan bahwa gizi adalah bahan makanan yang mahal, mengenai budaya mengkonsumsi makanan yang serba instan yang akan berdampak pada kemalasan masyarakat dalam mengelola makanan dan menanam bahan makanan di halaman sendiri, dan mengenai masalah kebijakan pengadaan bahan makanan. Memberikan makanan yang bergizi bagi masyarakat adalah penting namun akan jauh lebih penting jika kita mampu memberikan edukasi sehingga akar permasalahan mengenai nutrisi bagi bangsa ini dapat terpecahkan. Lewat space khusus untuk literatur yang disediakan oleh FNB kita bisa meberikan wacana kepada masyarakat bahwa makanan yang bergizi belum tentu mahal dan budaya instanisasi akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Kita juga bisa memperkenalkan kepada masyarakat mengenai cara-cara pengolaan bahan makanan yang disajikan di FNB sehingga bukan tidak mungkin ketika masyarakat mulai merasa memiliki FNB mereka akan menjadi bagian dari FNB dan mampu mengelola bahan makananya secara mandiri dan mampu membentuk sebuah tatanan masyarakat yang seimbang dengan lingkunganya.