Kontrasepsi, Kesehatan Ibu, dan Kualitas Generasi Penerus

Oleh Meutia Gebrina 15 Mar 2012

Bagi sebagian orang, kontrasepsi mungkin memberikan makna yang kurang baik. Mungkin, pandangannya adalah bahwa kontrasepsi itu menentang  kehidupan, melawan rejeki yang diberikan Tuhan. Tapi, apakah sebenarnya kontrasepsi itu? Mari kita lihat dari sudut pandang yang berbeda.

Kontrasepsi adalah suatu cara untuk menghalangi terjadinya fertilisasi antara sperma dan ovum. Bagaimana? Metodenya beragam. Ada kontrasepsi tipe ­barrier, yaitu yang mencegah sperma untuk sampai ke dalam rahim perempuan, contohnya adalah kondom dan diafragma. Kontrasepsi jenis ini biasanya kurang begitu efektif karena bisa saja terjadi kebocoran sehingga sperma tetap sampai di rahim. Kontrasepsi yang lebih efektif adalah yang menggunakan hormonal. Jenisnya banyak, bisa berupa pil, suntikan, dan susuk. Kontrasepsi jenis ini menghalangi pelepasan telur dari indung telur wanita sehingga tentu saja tidak bisa bertemu dengan sperma. Kontrasepsi yang paling efektif adalah sterilisasi, yaitu pemotongan saluran tempat lewatnya telur untuk sampai ke rahim. Sterilisasi juga bisa dilakukan terhadap saluran sperma para pria.

Salah satu hal yang membuat image kontrasepsi menjadi buruk adalah promosi kondom terhadap para pekerja seks komersial untuk mencegah penularan penyakit. Selain itu, kesan promosi tersebut adalah bahwa ada cara untuk para PSK agar tidak sampai hamil yang membuat dirinya tidak mendapatkan hukuman sosial. Alasan lain, tentu saja, pandangan-pandangan yang menganggap bahwa metode kontrasepsi itu menentang pemberian rejeki dari Tuhan.

Padahal, semua orang sudah tahu, kalau Tuhan menginginkan sesuatu terjadi, maka terjadilah! Kun fayakun! Kalau Tuhan berkehendak seorang ibu untuk mengandung, maka hamillah ibu itu. Mengenai para PSK, sebenarnya apa sih urusan manusia mengenai dosa? Itu urusan Tuhan. Jika seseorang berlaku berbuat yang dilanggar agama, pasti Tuhan akan memberikan balasan, baik itu di dunia maupun di akhirat.

Kembali ke kontrasepsi. Selain metode-metode yang sudah dipaparkan di atas, sebenarnya masih ada metode lain yang bersifat alamiah. Dalam siklus menstruasi wanita, normalnya pelepasan telur dari indung telur hanya terjadi sekali dalam sebulan. Itulah yang disebut ovulasi. Adanya ovulasi ini menentukan beberapa hari dalam sebulan yang merupakan masa subur seorang wanita. Pada masa ini, dinding rahim wanita juga sudah menjadi lahan yang siap ‘ditanami’ oleh mudigah, yaitu calon janin. Selain dari masa subur tersebut, jika pasangan melakukan senggama, kemungkinan besar tidak akan terjadi pertemuan sperma dan ovum.

Masih ada metode alamiah lain. Setelah seorang ibu melahirkan, biasanya dia belum mendapatkan menstruasi lagi sampai beberapa bulan. Biasanya, pada masa itu tidak terjadi ovulasi akibat efek tingginya hormon kehamilan. Selain itu, laktasi pasca-melahirkan juga turut meningkatkan efek tingginya hormon kehamilan tadi. Jadi, pemberian air susu ibu (ASI)  juga merupakan salah satu metode kontrasepsi.

Jadi, pada dasarnya Tuhan juga menciptakan sistem kontrasepsi pada organ reproduksi wanita. Tuhan saja ‘setuju’ dengan metode kontrasepsi. Tapi mungkin Anda masih bertanya-tanya, kalau begitu untuk apa dibuat metode-metode kontrasepsi ‘buatan’? Metode kontrasepsi alamiah memiliki banyak sekali persyaratan. Penentuan masa subur seorang wanita bukanlah perkara mudah. Biarpun ada rumus penentuan tanggal-tanggal subur, rumus itu tidak akan akurat. Siklus menstruasi wanita sangat terpengaruh oleh berbagai faktor, seperti emosi dan aktivitas fisik. Mengenai metode laktasi sebagai kontrasepsi, itupun kurang efektif. Tidak ada yang bisa menjamin sampai kapan laktasi bisa mencegah terjadinya ovulasi. Cara-cara seperti barrier, hormonal, dan sterilisasi merupakan metode yang jauh lebih efektif.

Sekarang, kita lihat fungsi kontrasepsi lebih lanjut. Kontrasepsi merupakan cara yang dipakai dalam keluarga berencana (KB). Lalu, apakah keluarga berencana itu? Apa yang direncanakan terhadap keluarga tersebut? Sebenarnya KB merupakan program pemerintah yang bertujuan hanya ada maksimal dua orang anak dalam sebuah keluarga inti. Lebih dalam lagi, jarak kelahiran dua anak ini juga diatur, minimal berbeda dua tahun.

Buat apa sih ada program seperti itu? Mari kita pikirkan sama-sama. Sebuah keluarga baru memiliki seorang anak. Untuk anak pertama, pasangan suami dan istri ini merupakan orang yang baru menjadi orangtua. Pasti banyak perubahan yang ada dalam kehidupan mereka. Mereka perlu beradaptasi dengan tugas-tugas baru; bangun di malam hari karena bayi menangis, mengganti popok bayi yang sudah kotor, menyusui bayi, dan lain sebagainya. Coba bayangkan kalau anak pertamanya baru berusia 1 tahun, sang ibu sudah hamil lagi? Belum selesai adaptasi yang satu, ibu sudah harus menjaga aktivitas fisiknya agar tidak terlalu lelah. Padahal, masa-masa batita sampai balita adalah masa-masa anak belajar berjalan, berlari, bermain ke sana ke mari. Jarak dua tahun diperkirakan menjadi jarak aman minimal pada program KB. Setelah anak kedua dilahirkan, anak pertama juga sudah ‘siap’ untuk menjadi seorang kakak.

Lalu mengapa harus dibatasi maksimal dua orang anak? Bukannya ‘banyak anak, banyak rejeki’? Eits, ‘banyak anak, banyak rejeki’? Itu pepatah lama, bung! Dalam tumbuh kembang seorang anak, ada beberapa aspek yang penting, yaitu asah, asih, dan asuh. Untuk pengasuhan anak, minimal dibutuhkan  sandang, pangan, dan papan. Anak harus diasah melalui pendidikan. Sandang, pangan, papan, edukasi. Itu semua membutuhkan biaya. Semakin banyak anak, semakin banyak kebutuhan keluarga. Itu baru perkara materi. Anak juga perlu mendapatkan asih. Perhatian, kasih sayang dari orangtua, turut mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Akan menjadi apa anak ini sangat tergantung dari kedekatan anak dengan orangtua dan juga hal-hal yang diajarkan orangtua kepada anaknya. Kalau sebuah keluarga inti memiliki banyak anak, katakanlah 8 anak, bagaimana orangtua bisa memperhatikan anaknya satu demi satu? Jelas berbeda intensitas kasih sayang yang didapatkan antara anak yang dua bersaudara dan yang delapan bersaudara. Dalam hal ini, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap ayah, ibu memegang peranan yang lebih penting daripada ayah karena ibulah yang sehari-hari merawat anak.

Memiliki banyak anak, terutama dalam jarak yang dekat antarkelahiran, juga meningkatkan risiko ibu terkena berbagai macam penyakit, misalnya hipertensi (tekanan darah tinggi) dalam kehamilan. Kalau ibu sakit-sakitan, tentu tidak bisa memberikan asah, asih, dan asuh yang baik terhadap anak. Jadi, outcome yang diutamakan di sini adalah kualitas anak. Kalau ibu tidak bisa menjaga kesehatan dirinya, kualitas anak juga tidak akan optimal.  Ayo sehatkan ibu-ibu Indonesia agar tercipta generasi berikut yang berkualitas!