Memimpin Diri Sendiri, Kemudian Orang Lain.

Oleh anugerah 21 Oct 2013

Terkadang, jika ingin mengenal lebih jauh tentang watak seseorang, coba telusuri masa lalunya. Bisa saja dimulai dari masa kecilnya. Namun, teori ini tidak mutlak. Menjudge orang hanya karena masa lalunya, sepertinya tidak adil. Tidak seorangpun yang mau menjalani masa lalunya yang buruk, seandainya bisa memilih, semua akan memilih hidup di dunia ini dengan baik-baik saja. Lurus lurus saja. Datar datar saja. Tak ada warna warna lain yang menghiasi.

Saya dibesarkan di keluarga tentara. Bapak Angkatan Darat. Kakek dari pihak mama Pensiunan Angkatan Darat. Kakek dari pihak Bapak veteran Angkatan Darat. Saudara laki-laki dari pihak mama juga Angkatan Darat. Saudara laki-laki dari pihak Bapak adalah Angkatan Laut. *tarik nafas panjang*. Hormat Gerakkk…!

Seperti yang kita ketahui, seorang prajurit dipersiapkan, dilatih bertanggung jawab, disiplin, kerja keras, berani tanpa kenal menyerah. Terbayang bagaimana berada di tengah-tengah keluarga angkatan ini. Meski tidak semua peraturan sama, tapi segala tindak tanduk anak-anak, cucu, ponakan hampir seragam. Tunduk dan patuh. Sepertinya ini menyeramkan, jika mengenang masa-masa kecil dulu. Memang ‘sedikit’ menyeramkan, untuk sekarang ini, saya terkadang senyum-senyum sendiri mengenangnya.

Lepas dari itu semua, menurut saya mama-lah  yang sangat berperan dalam mendidik kami. Bukan berarti Bapak tidak. Mama yang selalu ada di rumah untuk mengajarkan kami segala hal. Sebagai anak sulung, saya dididik sebagai pemimpin bagi adik-adik. Memberikan contoh kepada mereka. Segala hal yang diperkenankan, saya dituntut untuk dapat melakukannya dengan baik. Tidak mudah memang. Tapi itulah yang membentuk watak saya.

Mama, meski tidak se-disiplin Bapak, tetap memberlakukan aturannya sendiri, maupun aturan yang diberikan oleh Bapak dan dijalankan oleh mama. Ah…mereka kompak sekali. Segala hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, seperti peraturan tidak tertulis. Dilanggar, kena hukuman. Terkadang hukuman yang diberikan malah sangat menyenangkan. Misalkan kami sangat ingin sekali makan es krim. Tapi tidak boleh oleh mama, akhirnya malah kami dibelikan beberapa bungkus es krim dan harus dihabiskan. Wah, enak sekali.

Mama selalu mengajarkan kepada kami, terutama kepada saya, untuk bisa menjadi perempuan yang tangguh, rajin, dan hal-hal mendasar yang dipunyai perempuan lainnya. Belajar berkreasi dalam segala hal. Harus bisa memimpin diri sendiri, sebelum memimpin orang lain. Pandai membawa dan mawas diri  di mana pun berada. Sebagai anak, saya selalu mengingat segala pesan mama. Menjadikannya pegangan dan semacam ‘alarm’.

 Saya tidak menampik, didikan orang tua kepada saya sangat keras. Untuk itu, sebagai perempuan yang kelak akan menjadi seorang istri juga ibu bagi anak-anak. Sebisa mungkin saya akan menerapkan apa yang sudah ada di bayangan saya kelak. Memang, didikan dulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Sebagai calon ibu, saya harus mencari metode-metode baru dalam mendidik anak, apalagi mempersiapkan mereka untuk menjadi calon pemimpin. Setiap orang tua pastilah ingin yang terbaik bagi tumbuh kembang anak-anaknya. Segala cara akan diupayakan. Zaman sudah berlari jauh. Seringnya kita tidak siap untuk menghadapi itu semua. Rencana untuk masa depan, dari sekaranglah harus dipikirkan. Bukan karena urusan nanti ya nanti sajalah dipikirkan, bukan itu.

Saya selalu mengangankan punya keluarga kecil yang bahagia. Anak-anak yang lucu, sehat dan dambaan kami kelak sebagai orang tua. Keinginan-keinginan itu terkadang saya imajinasikan dengan visual di depan saya. Rumah sederhana. Anak 2 atau tiga. Memperhatikan asupan gizi mereka sejak dalam kandungan, mencari informasi penting lainnya untuk pertumbuhan mereka, entah itu dari sharing teman-teman yang sudah punya anak, orang tua, maupun dari buku-buku bacaan. Membayangkan itu saja, rasanya sulit untuk mewujudkannya. Sering timbul ketakutan-ketakutan tidak dapat mewujudkan impian saya, takut tidak bisa menjadi ibu yang ideal bagi mereka.

Tapi itulah, meski hanya bayangan indah, saya berjanji akan dapat mewujudkannya. Terkadang memang keinginan jauh dari kenyataan. Toh, tidak ada salahnya tetap bermimpi, berangan-angan. Biarkan mimpi-mimpi itu terbang ke langit, kemudian seluruh alam raya mengaminkannya. Semoga…. (aw)