Menelusuri Riwayat Alergi, Apakah Selalu Diturunkan?

Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 06 Oct 2021

Apakah ada anggota keluarga Sahabat yang memiliki alergi? Jika demikian, Sahabat mungkin berpeluang memiliki alergi juga. Itu karena alergi sering diturunkan dalam keluarga. Bila Sahabat memiliki alergi, kemungkinan besar setidaknya salah satu dari orang tua juga memilikinya.

Alergi didefinisikan sebagai reaksi abnormal terhadap zat yang biasanya tidak berbahaya bagi kebanyakan orang. Zat-zat ini disebut sebagai ‘alergen’ yang dapat ditemukan di dalam ruangan, di luar ruangan dan bahkan pada makanan yang kita makan.

Beberapa gejala alergi paling umum yang dialami orang bervariasi berdasarkan jenis alergen. Misalnya, seseorang yang alergi terhadap serbuk sari, jamur, bulu binatang, dan tungau debu, mungkin akan bersin-bersin, hidung tersumbat, pilek, mata gatal, berair dan/atau merah, telinga gatal, dan tenggorokan gatal. Selain itu, sakit kepala sinus, nyeri wajah dan batuk juga bisa terjadi.

Menurut American College of Allergy, Asthma & Imunologi (AAAAI), paparan alergen ketika pertahanan tubuh lemah – seperti setelah sakit atau selama kehamilan – dapat berperan dalam mengembangkan alergi.

Apakah alergi mengalir dalam gen dan pasti dialami oleh keturunan kelak? Menurut para ahli di WebMD, tidak tepat demikian. Bila seseorang memiliki alergi, itu tidak berarti anaknya pasti akan memilikinya juga. Tapi ada peluang 50-50. Jika pasangan Sahabat juga alergi, peluang anak untuk memiliki alergi akan naik hingga 75%.

Penting untuk dicatat bahwa ini tidak berarti bahwa jika orang tua memiliki alergi, anak-anak kelak juga pasti akan mengalami alergi. Percaya atau tidak, dalam beberapa kasus, seorang anak akan mengembangkan alergi yang bahkan tidak dimiliki orang tuanya, atau tidak akan mengembangkan alergi sama sekali.

Namun, alergi bukan hanya terkait gen, karena ada faktor lain yang ikut berperan, seperti lingkungan, polusi udara, infeksi pernapasan, bahkan pola makan dan emosi.

Namun demikian tak bisa dimungkiri bahwa genetika memainkan peran besar dalam kemungkinan seseorang mengembangkan gejala alergi. Dalam sejarah alergi, selalu ada hubungan keluarga, artinya banyak orang dalam satu keluarga yang alergi.

Ada banyak jenis alergi, dari alergi musiman (juga disebut hay fever) hingga reaksi parah terhadap produk kacang dan makanan lainnya. Riwayat keluarga - dalam hal ini gen alergi - bisa sama-sama berpengaruh pada jenis alergi itu. Ketika Sahabat memiliki reaksi alergi terhadap zat tertentu, itu karena tubuh membuat bentuk aktif imunoglobulin E (IgE), antibodi yang berjalan ke sel tertentu, menyebabkan mereka melepaskan bahan kimia tertentu. Bahan kimia ini menyebabkan gejala alergi.

Orang yang tidak alergi, di sisi lain, mungkin masih menghasilkan IgE sebagai respons terhadap alergen tertentu, tetapi tanggapannya mungkin tidak cukup kuat untuk menghasilkan gejala di dalam tubuh.

Dokter dapat menentukan tingkat respons tubuh melalui tes darah atau tusukan kulit. Pengujian mungkin bermanfaat bahkan ketika Sahabat tidak memiliki gejala, terutama jika ada riwayat keluarga alergi terhadap zat seperti kacang tanah, yang dapat menyebabkan anafilaksis (reaksi alergi parah) dan kematian. Bahkan jika reaksi alergi tidak muncul di masa sekarang, pengujian masuk akal karena gen alergi tersebut dapat muncul tanpa peringatan di masa depan.

Para ahli di WebMd mengingatkan, riwayat keluarga tidak selalu merupakan alat prediksi yang sepenuhnya andal dalam menentukan apakah atau kapan seseorang akan mengembangkan alergi masa kanak-kanak atau dewasa. Alergi yang berjalan dalam keluarga mungkin datangnya tidak sama. Satu saudara laki-laki dapat memiliki banyak alergi di awal kehidupan, sementara yang lain mungkin tidak mengembangkannya sampai usia dua puluhan, atau bahkan tidak memiliki gejala alergi sama sekali.

Selain genetika, lingkungan adalah variabel lain yang bisa memicu reaksi alergi. Orang yang hidup di Gurun Sahara, dan tidak ada serbuk sari dan kacang, mungkin tidak pernah menunjukkan penyakit alergi karena pemicunya tidak tersedia. Paparan alergi tidak cukup untuk mendorong ke arah terjadinya reaksi alergi.

Memahami Gen Alergi

Jurnal Clinical & Experimental Allergy dalam makalah berjudul ”Genetic risk factors for the development of allergic disease identified by genome-wide association” yang dipublikasikan pada Januari 2015, menyebut terjadi kenaikan proporsi dari populasi di seluruh dunia yang dipengaruhi oleh penyakit alergi seperti rinitis alergi (AR), dermatitis atopik (AD) dan asma alergi.

Menurut jurnal resmi dari British Society for Allergy & Clinical Immunology tersebut, penyakit alergi bersifat kompleks dan perkembangannya melibatkan faktor lingkungan dan genetik. Meskipun keberadaan komponen genetik untuk alergi pertama kali dijelaskan hampir 100 tahun yang lalu, kemajuan dalam identifikasi gen telah terhambat oleh kurangnya teknologi yang tinggi untuk menyelidiki variasi genetik dalam sejumlah besar subjek.

Pengembangan Genome-Wide Association Studies (GWAS), metode bebas hipotesis untuk menginterogasi sejumlah besar varian umum yang mencakup seluruh genom pada subjek penyakit dan non-penyakit telah merevolusi pemahaman kita tentang genetika penyakit alergi.

Jurnal itu menyebut gen kerentanan untuk asma, AR dan AD kini telah berhasil diidentifikasi, menunjukkan ada lokus genetik umum dan berbeda yang terkait dengan penyakit ini. Hal itu tentu saja memberikan wawasan baru tentang jalur dan mekanisme penyakit potensial.

Dalam makalahnya, peneliti menyatakan gen yang terlibat dalam mekanisme imun adaptif dan bawaan telah diidentifikasi, terutama termasuk beberapa gen yang terlibat dalam fungsi/sekresi epitel - yang menunjukkan bahwa epitel saluran napas mungkin sangat penting pada asma. Menariknya, kesesuaian/ketidaksesuaian antara faktor genetik yang mendorong sifat alergi (seperti kadar IgE) dan status penyakit seperti asma telah lebih jauh mendukung akumulasi bukti heterogenitas pada penyakit ini.

Peneliti menambahkan, sementara GWAS telah berguna dan terus mengidentifikasi gen baru untuk penyakit alergi melalui peningkatan ukuran sampel dan penyempurnaan fenotipe (ciri khas pada satu individu yang bisa dengan mudah diamati secara fisik), pendekatan di masa depan akan mengintegrasikan analisis varian langka, mekanisme epigenetik (ilmu yang mempelajari perubahan karakter individu karena adanya modifikasi-modifikasi dari molekul asam nukleat, protein histon yang mengemas DNA, yang semua itu dapat mempengaruhi jumlah protein yang dihasilkan), dan pendekatan eQTL (pendekatan langsung untuk mengidentifikasi kandidat gen kerentanan pada lokus berisiko), yang mengarah pada wawasan yang lebih luas tentang dasar genetik penyakit ini.

Dengan kata lain, seperti ditekankan peneliti, Identifikasi gen akan meningkatkan pemahaman kita tentang mekanisme penyakit dan menghasilkan peluang terapi potensial di masa mendatang.

Perlu diingat: Penting untuk mengetahui alergi yang Sahabat miliki, dan melakukan tes jika memiliki gejala untuk menentukan pendekatan pengobatan terbaik. Dalam upaya mendiagnosis alergi, dokter harus mendapatkan riwayat dari pasien dan melakukan pemeriksaan fisik. Tes alergi kulit juga dapat dilakukan untuk menentukan penyebab sebenarnya dari gejala alergi. Dari sana, rencana perawatan dibuat yang mencakup penghindaran alergen, serta obat-obatan untuk membantu mengendalikan gejala alergi.

Para ahli yang tergabung dalam American College of Allergy, Asthma & Imunologi (AAAAI) menyarankan, untuk mengendalikan alergi dapat dilakukan dengan menerapkan imunoterapi alergen. Untuk diketahui, imunoterapi alergen adalah perawatan bukan obat alami di mana secara bertahap mengurangi kepekaan terhadap hal-hal yang membuat alergi, menghasilkan lebih sedikit gejala dan lebih sedikit penggunaan obat. Imunoterapi dapat diberikan melalui suntikan, tetes atau tablet di bawah lidah.

Referensi

WebMD. Are Allergies in Your Genes?https://www.webmd.com/allergies/allergies-inherited. DIakses 18 September 2021

American College of Allergy, Asthma & Immunology. Who Gets Allergies?https://acaai.org/allergies/allergies-101/who-gets-allergies/. Diakses 18 September

Portelli, M. A., Hodge, E., & Sayers, I. (2015, January). Genetic risk factors for the development of allergic disease identified by genome-wide association. Clinical & Experimental Allergy, 21-31.