Nilai dan Sikap untuk Calon Pemimpin

Oleh Zuhriyyah Hidayati 21 Oct 2013

Menyiapkan Pemimpin Sejak Dini
Saya memang ibu muda, anak saya baru satu, Farras (17 bulan). Namun, usia muda dan pengalaman pertama menjadi ibu, tidak menjadikan saya pesimis dalam mendidik dan membesarkan sang buah hati. Sebaliknya, saya mempunyai optimism yang tinggi dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendidik dan membesarkannya. Modal saya yang utama adalah belajar. Saya terus belajar dan membuka diri terhadap ilmu dan pengalaman-pengalaman baru dalam mendidik anak.
Bagi saya, menjadi orang tua tidak sekedar takdir, yaitu ketika saya melahirkan anak. Lebih dari itu, menjadi orang tua adalah suatu amanah yang mulia, di mana saya menjadi manusia yang dipilih dan dipercaya oleh Tuhan untuk dititipi seorang makhluk-Nya yang suci. Saya dan suami harus bertanggung jawab untuk mengembalikan titipan tersebut dalam keadaan yang terbaik. Saya dan suami pun sangat berharap sang anak tidak menyesal menjadi anak kami. Karena itulah kami berusaha untuk melakukan yang terbaik untuknya.
Pertama, perawatan fisik terbaik. Pertama yang saya berikan kepada anak ketika ia lahir adalah ASI. Ya, saya memberikan ASI eksklusif sesuai aturan pemerintah dan aturan agama (agama Islam menganjurkan pemberian ASI selama dua tahun). Kendati pemberian ASI secara eksklusif ini tidak mudah, terutama pada awal-awal pemberian ASI, saya tidak pernah menyerah untuk terus memberikan ASI sebagai makanan terbaik untuknya, terutama pada enam bulan pertama usia sang buah hati. Saya memegang teguh fakta bahwa ASI adalah makanan terbaik untuk bayi dan tidak menggantinya dengan makanan apapun pada enam bulan pertama. Saking keukeuh nya saya untuk memberikan ASI eksklusif ini, saya bahkan dibilang ibu kuno dan jadul oleh tetangga-tetangga saya. Saya juga dibilang pelit karena tidak memberikan makanan atau minuman lain. Bagi saya, ini adalah tantangan. Sedapat mungkin saya sampaikan kepada mereka yang belum memahami arti ASI eksklusif tentang manfaat ASI yang tidak hanya merupakan kebutuhan pokok bayi dan tidak bisa diganti oleh makanan apapun, tetapi lebih dari itu, ASI sangat berguna dalam pertumbuhan psikis dan kecerdasan bayi.
Setelah program ASI eksklusif enam bulan setelesai, saya pun memberikan makanan homemade sebagai makanan pendamping ASI. Saya berusaha sebisa mungkin untuk memberikan makanan-makanan alami yang penuh gizi dan menghindari makanan-makanan instan yang tidak baik untuk bayi. Selain itu, saya memberikan imunisasi yang direkomendasikan oleh pemerintah dan menjaga kesehatannya. Saya juga membiasakan hidup yang alami kepada sang buah hati sejak dini dengan menggunakan cloth diapers untuknya. Ini tidak saja sekedar menghemat pengeluaran, tetapi lebih pada pemilihan gaya hidup yang green yang saya harapkan mampu diteladani olehnya.
Kedua, pendidikan mental. Kalau perawatan fisik bisa dirasakan dan dilihat hasilnya, untuk pendidikan mental atau pendidikan jiwa ini tidak bisa dirasakan secara instan. Pendidikan jiwa yang saya dan suami berikan adalah penanaman nilai-nilai utama kepada sang buah hati untuk nantinya nilai-nilai ini menjadi tali pegangan dalam kehidupannya kelak.
Karena kami beragama Islam, nilai yang pertama kami tanamkan adalah nilai tauhid. Sejak dini saya dan suami melibatkan sang buah hati dalam ibadah-ibadah yang kami lakukan, membiasakannya berdoa dalam tiap perbuatan, dan mengucapkan kalimat-kalimat indah dalam tiap kejadian. Selanjutnya, nilai akhlak, seperti menghormati dan menyayangi orang tua, menyayangi orang lain, menyayangi binatang, menyayangi tumbuhan, dan menjaga benda-benda lainnya. Saya biasakan sang buah hati untuk tidak memukul, baik itu memukul kami, memukul teman-temannya, memukul binatang, tidak merusak tumbuhan, dan merusak mainan, buku, atau benda-benda lainnya. Sebaliknya, saya selalu katakana kepadanya, “Farras sayang ibu, Farras sayang abah, Farras sayang teman-teman, Farras sayang embah, Farras sayang bunga-bunga, Farras sayang kucing,” dan seterusnya. Hasilnya luar biasa, di usia 17 bulan ini, Farras tidak terbiasa memukul, sebaliknya, Farras sangat penyayang dan ramah terhadap sesame, sayang hewan, dan tumbuhan.
Nilai-nilai lain yang kami tanamkan kepadanya sejak dini adalah aprisiasi diri dan orang lain. Saya sendiri mempunyai pengalaman buruk ketika masih kecil dalam hal mengapresiasi diri. Belakangan saya sadar, bahwa saat kecil saya dibullying oleh lingkungan sekitar, terutama oleh keluarga besar saya sendiri. Mereka secara sadar menggiring saya menjadi inferior karena selalu diremehkan, diabaikan, dianggap tidak mampu seperti dan sejajar dengan mereka. Karena selalu mendapat perlakuan yang tidak baik itu, orang tua saya (dengan segala keterbatasan pengetahuan tentang parenting dan segala kecintaannya kepada saya) menarik diri saya dari pertemuan-pertemuan keluarga besar dengan alasan mereka tidak ingin saya diperlakukan buruk. Hasilnya, saya tumbuh menjadi pribadi yang minder, tidak percaya diri, dan merasa tidak ada apa-apanya. Namun seiring berjalannya waktu dan pengalaman merantau yang saya lalui, saya menemukan kepercayaan diri yang tinggi dan akhirnya mampu berprestasi.
Karena pengalaman itulah, saya ingin mendidik sang buah hati untuk menjadi pribadi yang penuh apresiasi diri, memahami dang menghargai kemampuan diri, dan penuh percaya diri. Saya selalu memberikan tepuk tangan ketika Farras berhasil melakukan hal-hal yang baru, seperti naik-turun tangga tanpa jatuh, menyalakan kipas angin, berdoa ketika bangun tidur, dan lainnya. Saya juga selalu mengucapkan terima kasih ketika Farras membantu pekerjaan-pekerjaan saya, seperti mengambilkan sesuatu, membayarkan uang ketika belanja, memberikan uang pada pengemis, dan lainnya. Hasilnya, Farras akan tersenyum bahagia setiap tepuk tangan dan ucapan terima kasih saya berikan. Saya merasakan bahwa ia merasa saya hargai dan setelah itu dia akan mencium saya. Saya yakin, jika apresiasi diri ini dimiliki, maka sang buah hati nantinya akan mudah mengapresiasi orang lain dan tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana.
Sikap lain yang tidak kalah penting saya tanamkan kepada sang buah hati adalah sikap pantang menyerah. Sejak dini saya membiasakan sang buah hati untuk mencoba apapun (selama tidak membahayakan jiwanya). Saya perkenalkan konsep panas-dingin, kering-basah, berat-ringan, dan lainnya dengan langsung mencobanya. Sebagai contoh, saya memintanya memegang air panas dalam gelas dengan ujung jarinya. Maka setiap akan minum, Farras akan mnyentuhkan ujung jarinya ke gelas untuk mengecek apakah air itu panas atau dingin. Sebagai juga mencontohkan dan memperlihatkan pekerjaan-pekarjaan yang biasa saya lakukan dan memintanya untuk membantu saya mengerjakannya. Karenanya, di usia 17 bulan Farras terbiasa melakukan apapun sendiri (dalam pantauan saya tentunya), seperti menuangkan air ke dalam gelas, makan sendiri, memakai bedak sendiri, mengelap air yang tumpah (tanpa disuruh), dan lainnya. Dalam hal ini, saya menerapkan kebiasaan untuk tidak segera membantunya ketika ia mengalami kesulitan, seperti ketika ia belajar naik-turun tangga. Saya selalu memberikan semangat kalau dia bisa melakukannya, dan pada akhirnya saya selalu mengapresiasinya.

Itulah sekelumit cerita saya, pengalaman ibu muda yang masih terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik. Di samping pengalaman-pengalaman di atas, saya juga menerapkan pola asuh orang tua saya yang saya anggap baik. Di anataranya, pertama, selalu bersikap positif kepada anak. Orang tua saya tidak pernah mengatakan saya dan adik-adik saya nakal meski dalam keadaan marah sekalipun. Ketika anak melakukan kesalahan, maka orang tua saya selalu mengevaluasi diri di mana letak kesalahan mereka dalam mendidik kami, dan kemudian minta maaf kepada kami atas kesalahan mereka. Dengan cara ini, kesalahan itu tidak akan terulang.
Kedua, memisahkan permasalahan anak dan orang tua. Orang tua saya tidak pernah ikut campur dalam prestasi sekolah kami. Kami hanya dianjurkan belajar, tanpa dimarahi. Ketika kami mendapat prestasi, mereka akan mengapresiasi, namun ketika kami gagal, orang tua tidak ikut campur dalam mengatasinya, seperti memasukkan kami ke les-les privat atau lainnya, karena bagi orang tua saya, kegagalan kami mendapat prestasi bukan permasalahan mereka, tapi permasalahan kami sendiri. Ketika masih kecil, saya menganggap orang tua saya sangat cuek dan tidak perhatian, namun saat sudah besar, saya menyadari, tidakan orang tua saya tersebut sangat mendidik saya dan adik-adik saya untuk mandiri dan bertanggung jawab.
Ketiga, tidak memanjakan anak. Menyayangi anak tidak harus menuruti setiap keinginan-keinginannya. Itulah prinsip orang tua saya dalam mendidik saya dan adik-adik saya. Sejak kecil saya dan adik-adik sudah dilatih untuk mandiri dan tidak dibiasakan untuk dilayani.
Akhirnya, menjadi orang tua adalah proses pembelajaran yang terus menerus. Menjadi orang tua tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas-fasilitas materi yang dibutuhkan anak-anak. Lebih dari itu, menjadi orang tua adalah menyiapkan anak-anak untuk hidup secara mandiri, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarganya, masyarakatnya, dan bangsanya.