Sang “Tiga Pilar Pendidikan” yang Tak Tertandingi

Oleh Visya Al Biruni 21 Oct 2013

Al ummu madrasatul ula’(Ibu adalah madrasah pertama

Barangkali kita sudah tak lagi asing dengan pepatah Arab disana. Setiap wanita adalah calon ibu dan ibu adalah pendidik. Berarti setiap wanita adalah pendidik, tak peduli apakah ia mahasiswi pendidikan atau bukan. Seorang ibu memiliki peran yang sangat penting bagi sang buah hati. Hal itu dapat dijabarkan dalam tiga pilar pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Ing Ngarso Sung Tulodo
Menjadi ibu berarti menjadi teladan bagi sang buah hati. Maka dari itu pentinng untuk memperluas wawasan mengenai parenting dan menjadi ibu yang baik. Memang di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna, tapi setidaknya dengan ini kita belajar mendekati limit kesempurnaan. Lantas yang seperti apa sang teladan itu? bBagaimana pula menjadi sosok teladan bagi si kecil?
Sang teladan adalah mereka yang mampu menginspirasi melalui kebaikan-kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas, tanpa pamrih. Menjadi sosok teladan bagi sang anak b tidak harus menjadi sosok yang sempurna.
Ing Madya Mangun Karsa
Di tengah-tengah memberi bimbingan. Menjadi ibu berarti menjadi seorang pembimbing. Layaknya sebuah kapal dengan nahkodanya. Akan dibawa kemana arah kapal, tergantung pada kemudi sang nahkoda. Seorang nahkoda yang memiliki kecakapan tentu akan membawa kapalnya berlayar hingga tujuan. Sebaliknya seorang nahkoda yang tidak memiliki kecakapan, hanya akan membawa kapalnya terombang-ambing di tengah lautan. Kapal tersebut diibaratkan anak-anaknya dengan ibu sebagai nahkoda. Ibu yang baik tentu akan membawa anak-anak menjadi orang-orang baik pula. Begitupun sebaliknya
 
Tut Wuri Handayani
Di belakang memberi semangat. Menjadi ibu berarti menjadi penyemangat bagi sang buah hati. Tak selamanya seorang ibu terus menerus berada di depan. Ada kalanya si pemimpin kecil harus mandiri, berdikari di depan. Bukan membiarkannya tanpa arah, namun tetap mengarahkan. Ibu memberi semangat, di kala masa naik maupun masa turunnya semangat sang anak.
Bagi yang telah menjadi ibu, selamat. Saatnya kamu mempraktikan ilmumu. Namun bagi yang belum menjadi ibu (termasuk saya), masih ada kesempatan untuk mempersiapkan dan memantaskan diri. Bagaimana caranya? Berikut dipaparkan beberapa tips mempersiapkan diri menjadi ibu.
1.      Tingkatkan ilmu tentang parenting, mulai dari parenting untuk anak dalam kandungan, dengan membaca buku-buku parenting dan mengikuti kajian parenting. Eits, jangan minder duluan, mentang-mentang kamu belum jadi ibu. Ingat, ilmu itu dituntut bukan sekedar saat hari H, namun jelang hari H. Kita tidak tahu bukan, kapan kita akan menikah lalu menjadi ibu? Nah yuk, persiapkan diri sejak dini.
2.      Belajar mengajar/menjadi guru. Ibu itu adalah guru. Coba deh belajar untuk menjadi guru, bisa guru TPA, guru di tempat bimbingan les atau di tempat formal/nonformal lainnya. Dengan begitu kamu bisa memperhatikan pola tingkah anak-anak dan mengetahui sisi psikologis mereka. Dengan begitu pula, kesabaranmu dan ilmu psikologismu secara tidak langsung akan terlatih.
 
Sebagai epilog, izinkan cerita ini tertoreh. Sejak kecil saya memiliki kenginan menjadi seorang dokter gigi. Seiring berjalannya waktu, ketika memasuki dunia SMA, keinginan itu berubah menjadi seorang ilmuwan. Ya, saya ingin sekali menjadi ilmuwan internasional, khususnya di bidang Matematika, yang menghadiahkan nobel untuk Indonesia. Saya merasa di Indonesia masih sangat jarang terdapat ilmuwan wanita.
“Nanti di bangku kuliah kamu mau masuk jurusan apa?”
“Matematika murni.”
“Ingin jadi apa?”
“Saya ingin jadi ilmuwan.”
“Kamu mah cocoknya jadi guru.”
“Tapi saya tidak pandai mengajar. Pokoknya saya mau jadi ilmuwan saja.”
Itulah cuplikan percakapan yang kerap saya alami sejak memasuki awal masa kelas XII SMA. Begitu besarnya keinginan saya menjadi seorang ilmuwan, samai tak pernah terbesit dalam benak ini untuk menjadi seorang guru. Namun setelah melalui proses yang cukup panjang dan cobaan, saya ditempatkan disini. Di jurusan kependidikan, pendidikan Matematika lebih tepatnya.
Sempat sedikit menyesali keadaan ini. Sempat ego ini terus berteriak, “Aku tidak mau jadi guru! Bagaimanapun juga aku harus jadi ilmuwan!” namun saya sadar, inilah yang terbaik. Saya semakin mencintai dunia pendidikan dan dunia anak-anak. Saya semakin menyadari, saya berada disini untuk kelak menjadi seorang pendidik bagi anak-anak bangsa, khususnya anak-anak saya.
Saya juga kerap teringat dengan kalimat ini, sebuah kalimat yang keluar dari mulut seorang guru untuk saya.
“Pelajarilah ilmu yang dapat menunjangmu menjadi seorang ibu.”
Awalnya saya bingung, maksudnya apa? Apakah kita harus belajar ilmu rumah tangga dan parenting saja? Bisa ketinggalan zaman kalau begitu, pikir saya kala itu. Namun kini saya semakin menyadari makna kalimat itu. Bahwasanya memang pada akhirnya seorang wanita menjadi ibu, terlepas dari jurusan apa yang dilakoninya semasa kuliah. Saya sangat bersyukur masuk ke jurusan pendidikan ini karena dapat meningkatkan skill saya dalam mendidik anak-anak saya kelak. Tapi bukan berarti saya memandang jurusan lain tidak perlu. Saya percaya setiap ilmu tidak ada yang sia-sia, selama diperuntukkan untuk kebaikan.
Sekali lagi saya menyadari, meskipun mimpi saya menjadi seorang ilmuwan tidak tersampaikan, tapi setidaknya saya bisa mendidik anak-anak saya kelak menjadi generasi ilmuwan. Pendidikan menjadi akar kuat untuk mewujudkannya. Nasib calon anak-anak saya ada di saya, sang calon pendidik mereka dan tentu saja calon ayahnya yang akan  membersamai saya kelak.
Yuk sama-sama memantaskan diri bagi calon ibu! J