Saudagar Cinta

Oleh Niisa 20 Sep 2013

“aku mencintaimu layaknya bumi mencintai matahari”

Aku ingin sekali menelpon Tuhan untuk sekedar tanyakan “Kau ciptakan dari apa sosok wanita baja berhati sutra yang tak pernah sedikitpun mengeluh atas tugas yang menurutku amat sangat melelahkan?”. Regangan nyawa, payah yang bertubi untuk mengasuh dan menyusui setelah 9 bulan tak jemu memberi gizi. Juga aksi hiperaktif buah hati dimasa-masa gemilang (golden age).

Di luar sana, boleh jadi tersebar ribuan makhluk termulia di dunia yang super hebat namun tak pernah jemu aku katakan “aku selalu bangga padamu ibuku”. Agh iyaa, bunda kita memang yang terbaik di dunia. Predikat abadi yg Allah sampaikan lewat lisan nabi bahwa surga berada telapak kaki ummi. Bercermin pada kisah setidaknya membuat kita semakin bijak untuk mengambil langkah lebih tepat. Dan ini kisah Saudagar Cintaku

Aku terlahir dari kedua orang tua hebat, lelaki berwatak keras dan seringkali membuatku waswas jika melakukan kesalahan adalah presiden di negara kecil kami yang melulu kita sebut abi. Karakter beliau diseimbangi oleh belai cinta dengan tutur lembut ummi. Dalam berbagai hal mereka memang berbeda, namun itu yang membuat mereka bertahan selama 17 tahun pernikahan. Pendidikan yang mereka dapatkan tidak menjadi imbuhan nama mereka yang seringkali kita sebut ‘titel’, sehingga metode yang digunakan pun ya selayaknya orang tua kebanyakan. Tak jarang aku dan adik-adikku meringis karna kenakalan yang kami lakukan. Pukulan, bentakan dari sosok laki-laki itu membuat kami sempat membencinya. Belum lagi, lingkungan tempat tinggal kami yang tercemar berhasil membentuk karakter buruk pada adik laki-lakiku.

Oh ya, aku adalah anak pertama dari 3 bersauara kala itu. Tepat setelahku adalah laki-laki dan perembuan berikutnya. Kami didik sangat keras dengan pukulan dan teriakan oleh abi, tak jarang kami mengeluh pada ummi. Namun, seringkali ummi katakana “abi lagi capek, nyari uang buat makan kita sekeluarga. Abi sayang sama kalian, cuma karna kalian kurang baik disaat yang gak tepat jadinya abi kesel”. Bagaimanapun kami terbentuk dengan sifat itu (keras). Hei tapi tunggu.. sekeras apapun abi, tak pernah sekalipun beliau ucap kasar dan menghardik kami.

Waktu bergulir begitu cepat, kami tumbuh seperti anak lainnya. Tapi tunggu, badai ujian itu datang menggoyahkan istana kami. Adik laki-lakiku tumbuh dengan kenakalan yang terakumulasi sampai suatu ketika membuat ummi dan abi tak kuasa membendung airmatanya. Hari itu, ummi mencari uang Rp20.000,00 yang disimpan di lemari belakang. Di bongkarnya semua perabotan yang ada, namun hasilnya NIHIL! tanpa ba bi bu, tertuduhlah Hanif yang memiliki catatan buruk tentang “uang”. Awalnya mengelak, namun dengan sedikit paksaan ia akhirnya mengaku juga. Awalnya aku fikir, abi akan memperlakukan dia sebagaimana biasanya, tapi kali itu enggak! Beliau diam dan menangis. Mungkin kening kalian mengerut saat membaca kisah bagian ini dan mempertanyakan “Cuma Rp20.000,00” so what gitu?, agh iyaa.. aku belum sampaikan bahwa selembar d-u-a.p-u-l-u-h.r-i-b-u itu adalah uang terakhir yang keluarga kami miliki untuk makan hari ini. Hanif dia tak bergeming ketika aku sudutkan “buat apa sih uangnya? Tuh liat abi sama ummi nangis”.

Penggalan kisah klasik di masa itu sama sekali tak membuat jera adikku yang satu itu. Dan ini cerita puncaknya.

“mas gimana raportnya?” Tanya ummi sepulang pengambilan raport semester satu Hanif di kelas X.
“gitu, aah besok gak mau sama abi-lah. Masa bilang sama guru aku hal-hal yang jelek-jelek”
Dan ummi pun tersenyum arif dengan guratan yang bermakna “agh, selalu!”

Beberapa bulan berselang, ummi dapet surat dari sekolah Hanif kalo dia udah beberapa hari gak masuk tanpa keterangan.
Setelahnya, dia jarang pulang dan yang membuat ummi abi semakin kesal adalah keberadaannya rawan karna dia ada di lingkungan anak-anak berandalan. Aah iya, sekeras apapun abi.. ia tak mau melihat anaknya ‘rusak’. Kondisi Hanif semakin menghawatirkan dengan statement yang dituliskannya lewat selembar kertas

“mi, aku gak mau sekolah lagi. Aku mau kerja biar bisa hidup sendiri”

Kalimat yang berhasil memancing abi untuk keluarkan kata-kata ‘itu’ ketika mas Hanif pulang

“sana pergi yang jauh, anak abi bukan cuma kamu. Gak usah pulang sekalian!”

Hati ibu mana yang gak nangis melihat buah hatinya di perlakukan seperti itu, dengan terbata ummi bicara pada abi “saya ini ibunya, dia saya kandung 9 bulan, saya lahirkan dengan taruhan nyawa, saya besarkan dan didik bukan untuk di buang tapi di rangkul, di peluk, di didik dengan cinta”, abi tak bisa berkata apa-apa melihat aliran airmata yang semakin deras tercipta.

Beberapa hari dia gak pulang, membuat ummi berkali-kali harus keliling kampung untuk mencari di tengah gulita malam. Seringkali aku perhatian matanya memerah dan berair, menanyakan “mas hanif udah makan belum ya?” belum lagi ketika hujan mengguyar Jakarta “mas hanif tidur dimana ya?”. Entah berapa puluh langkah ayunan kaki kami terjejak untuk mencari keberadaannya. Sampai suatu hari, ia pulang dengan mengendap-endap.

“mi, aku laper..”
Di peluknya tubuh ringkih itu, segera ia perintahkan adik perempuanku untuk mengambilkan sepiring nasi juga lauk-pauk yang dimasak hari ini.

“tidur dimana mas kemarin? Makan apa aja?...”
Dan pertanyaan khawatir yang bercampur bahagia itu meluncur tanpa komando dari mulut umi. Mereka melanjutkan berbincangan dua hati tanpa ada abi, pembicaraan mereka terhenti pada kalimat.

“udah gak usah pergi lagi, biar ummi ngomong sama abi”

Tatapan mata itu bertemu, nanar khawatir yang tercermin jelas dari wajah hanif. Namun, ia tetap mengiyakan kehendak hati ummi.

Pada sisi ini, aku belajar satu hal “sentuhlah anak dengan cinta, yaa.. berbicara antara dua hati dengan muatan perhatian juga pengertian, bukan kalimat yang membuatnya tersudut dan merasa bersalah”. Dan ini titik klimaks skenario panjang penggalan kehidupan masa kecilku.

Abi melunak, dengan bijak dan tatapan lembut menanyakan keputusan masa depan yang bisa diambil hanif jika dia tidak ingin melanjutkan sekolahnya.

“mas hanif mau pesantren?”

“hmmm, yaudah deh”

Sesingkat itu, dan aku berasumsi bahwa keputusan hanif adalah buah manis dari cinta ummi dan abi* (meski dengan cara berbeda). Dan hari ini, tepat satu tahun ia berlajar di pesantren ‘Al Urwatul Wutsqo’ Indramayu. Awalnya aku khawatir dia main-main dan kambuh penyakitnya, tapi ini suratan cintaNya yang tepat terbukti untuk balasan orang-orang yang sabar dan selalu meminta pertolongan padaNya, Hanif tumbuh dan memperlihatkan perkembangan serta perbaikan akhlak yang cukup signifikan.

Abi semakin bijaksana, bahkan sekarang beliau adalah tempat curhat yang menyenangkan bagi kami. Ummi? Agh, ia bidadari terbaik yang Allah kirimkan di istana kecil ini. Aku mencintai mereka karna mereka guru kehidupan terbaik sepanjang masa, aku bangga dan salut dengan mereka karna sampai detik ini mereka masih merasa haus ilmu terutama tentang parenting (abi menyesali pendidikan masa lalu yang kurang tepat itu).

Satu petuah yang akan selalu aku ingat “Nanti ketika kalian menjadi orang tua, didiklah anak-anakmu dengan iman dan cinta. Maka dari itu, siapkan diri kalian dari sekarang untuk menjadi pribadi berkualitas agar kelak lahir pejuang-pejuang tangguh di zamannya”

“Jika cinta ibarat harta, aku pastikan kalian adalah saudagar terkaya. Abi Ummi”

1 Komentar

Nutrisi Bangsa

20 Sep 2013 11:03

Menyentuh sekali, mbak.. :). Terima kasih.. Jangan lupa kirim data ke form pendaftaran yaaaa