Surga itu, di Telapak Kaki Ibu.

Oleh Ibanq Muhammad 21 Oct 2013

revisi-posterblog-writing-competition-1.5-04092013.resized      

Ibu menjalankan banyak sekali peran dalam keluarga. Ia sebagai pengasuh, guru, pun acapkali menjelma pembuat kebijakan.

       Bangun pagi-pagi buta, bahkan sebelum ayam-ayam berkokok. Selepas shubuh menyiapkan seragam sekolah anak-anaknya, menghidangkan sarapan, rutinitas yang sedikit pun tak membuatnya jemu. Ibu tak pernah sekali pun berlaku kasar pada anak-anaknya karena memang begitulah seharusnya. Suatu waktu beliau pernah berkata, “Apa yang Ibu lakukan saat ini adalah apa yang kalian lakukan kelak. Entah kepada Ibu, pula cara mendidik  pada anak-anak kalian”.

       Satu hal kusadari, sebenarnya Ibu tengah menyiapkan kami sebagai pemimpin yang mandiri. Seperti halnya anak-anak penyu yang setelah cukup dewasa akan dilepas induknya. Ibu tahu betul itu. Sejak dini–kami–anak-anaknya, mendapat metode pengajaran secara lisan juga visual. Terutama dalam hal pendidikan. Secara lisan, jika anak-anaknya membawa pekerjaan rumah, maka dilungsurkannya kepada kami berbagai buku yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tersebut. Dipintanya kami membaca berulang-ulang dari halaman pertama sampai akhir. Ya, berulang-ulang. Sampai kami menemukan jawaban yang dicari pun tetap beliau meminta tuk mengulang bacaan kami. Aku sempat berpikir Ibu terlalu malas untuk sekadar membantu kesusahan kami. Kelak setelah dewasa aku mengerti, Ibu membiasakan kami membaca berulang-ulang agar sesuatu yang kami baca menjadi kebiasaan. Di luar itu juga membaca adalah hal langka di negeri ini. Maka kebiasaan membaca sejak dini betul-betul ditanamkan beliau pada anak-anaknya.

       Pada pendidikan visual, dalam hal ini khususnya pendidikan bahasa Inggris. Dipasang oleh beliau berupa-rupa poster yang terdiri dari gambar beserta keterangan dalam bahasa Inggris beserta terjemahannya. Seperti bermacam aneka buah, sayuran, penghuni kebun binatang, huruf alfabet, juga angka-angka. Ibu tahu, meski ia tak pandai berbahasa Inggris, ia ingin anak-anaknya jauh lebih pintar darinya, juga dengan metode seperti itu ia tidak memaksakan kami untuk menghafal satu kosakata bahasa Inggris atau lebih hanya dalam tempo satu hari. Sebaliknya, dengan cara seperti itu tiap kami bangun tidur di pagi hari, pulang sekolah di siang hari, atau menjelang tidur malam, secara kontinyu poster-poster tersebut kami lihat dengan sengaja maupun tidak, yang akhirnya tertanam di kepala kami bukan sebagai suatu hafalan, tapi lebih sebagai rutinitas yang tak dipaksakan.

       Dalam hal pola makan sehari-hari, aku tak tahu darimana, tapi kebutuhan nutrisi kami selalu saja tercukupi. Bolehlah kukatakan, dari nasi, lauk-pauk, juga gizi tambahan berupa vitamin tak lepas setiap harinya. Berbagai pertanyaan memantul-mantul di kepalaku, darimana Ibu mendapat ini semua. Sekian lama kuamati, Ibu kerap tepekur di kamarnya dengan setumpuk baju-baju yang dengan teliti dijahitnya. Rasa penasaranku tak dapat ditawar lagi. Segera kutanyakan apa yang tengah Ibu kerjakan. Senyum Ibu mengembang. Diperlihatkannya baju-baju adiluhung buah tangannya. “Ini pesanan Ibu-ibu tetangga yang tahu kalau Ibu sedikit berbakat dalam bidang ini. Hasilnya lumayan, menutupi kebutuhan bulanan kita selain yang Ayah beri.”

       Terjawab sudah rasa pensaranku. Rupanya Ibu pernah melihat baju teman pengajiannya dan berminat untuk menambahkan aksesoris tambahan agar terlihat lebih indah. Teman Ibu setuju. Maka dihiaslah oleh beliau berupa-rupa manik-manik yang memang harus dijahit secara manual dan membutuhkan ketelitian yang tinggi. Setelah jadi, diperlihatkan kepada si empunya yang terkagum-kagum seolah melihat hasil rancangan Dolce&Gabbana. Baiklah, mungkin itu agak berlebihan, tapi memang aku akui hasil tangan Ibu membuat jatuh hati yang melihatnya. Setelah itu mengalir deras pesanan dari para Ibu-ibu pengajian untu khal serupa. Kecuali warna–dari mulai bahan baju, aksesoris-aksesorisnya, Ibu berwewenang penuh memilihkannya.

       Keluarga kami, adalah satu dari sekian banyak keluarga menengah ke bawah dalam hal perekonomian. Dan di sinilah peran Ibu sebagai pembuat kebijakan benar-benar menonjol. Program bantuan pemerintah benar-benar membuat nafas kami sedikit lega. Penghasilan Ayah yang dikategorikan ‘cukup’ menegaskan kemampuan ekonomi kami yang tak sekali atau dua kali terlambat sekadar membuat seragam baru, dengan kata lain, selalu tertinggal dari teman-teman sekolah kami. Di sini Ibu bersaing dengan Ibu-ibu lainnya untuk mendapat suaka dari pemerintah. Bolak-balik kantor kelurahan untuk mengurus tetek bengek syarat dan ketentuan sebagai keluarga tak mampu. Mengumpulkan surat-surat yang dibutuhkan, mendatangi instalasi-instalasi pemerintah yang berkaitan. Dan hasilnya? Satu per satu kami anak-anaknya terus membayar kepercayaan itu dengan menukar air matanya pada nilai-nilai sekolah yang selalu cukup dan terkadang lebih baik.

       Ibu jelas tidak memberikan apa yang kami inginkan, seperti halnya anak-anak yang selalu menginginkan ini-itu dalam masa transisi umur. Tapi satu hal yang pasti, Ibu memberikan apa yang kami butuhkan. Dengan pola sederhana yang beliau bahkan tidak menganggapnya sebagai aturan, justru mengalir seperti air, kami diajak berpikir seiring waktu berlalu. Ibu sudah tentu sangat berhasil menunaikan peran kompleksnya. Sekarang aku tahu, yang dikatakan Rasulullah SAW beratus-ratus tahun lalu tentang surga yang tercetak di telapak kaki Ibu tersintesa persis di depan mataku setiap hari. Pula tentang  sabda Nabi yang berbunyi: “Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab lagi, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

       Tiga kali Rasulullah menyebut kata ‘Ibu’ lalu kemudian ‘Ayah’ tidak serta merta keluar begitu saja dari mulutnya. Karena Nabi pun tahu apa arti seorang Ibu bagi keluarga. Menjadikan dirinya lilin yang meleleh hanya supaya terus menjelma cahaya bagi orang-orang terkasihnya. Tungkai kakinya ialah tiang surga, yang menopang sungai Kautsar yang senantiasa mengalir tak henti-henti dari derap langkah perjuangannya.

       Surga di telapak kaki Ibu, siapa yang bisa menyangsikan?