Tiga Nutrisi Penting untuk Calon Pemimpin

Oleh Fitria Chakrawati 04 Oct 2013

Ada satu hal mendasar yang saya yakini berpengaruh besar pada perkembangan anak-anak. Sebagai peniru ulung, anak-anak akan meniru segala sesuatu yang dilihat dan didengarkan. Terutama jika itu dilakukan oleh role model mereka. Oleh karena itu, saya sebagai ibu berusaha menjadi role model yang baik, terlepas dari kekurangan saya sebagai manusia. 

Di sisi lain, saya pun memahami bahwa selain pengaruh lingkungan, anak-anak juga punya bakat alami. Ketiga putri saya punya bakat berbeda. Dengan keunikan mereka, saya yakin, mereka bisa menjadi pemimpin di masa depan, dalam bidang yang mereka minati. Tentu saja, saya pun menyadari bakat tersebut tak akan ada artinya jika tidak dipupuk dengan baik.

Dengan kesadaran tersebut, saya pun berpikir, bagaimana supaya anak-anak bisa mewujudkan cita-citanya? Untuk bisa menjadi pemimpin yang hebat di bidangnya masing-masing jika anak-anak perlu dibekali pula dengan berbagai nutrisi. Nutrisi di sini saya artikan bukan hanya untuk tubuh tetapi juga nutrisi otak dan jiwa. 

Oleh karenanya, kami berusaha memberikan nutrisi-nutrisi tersebut dalam kebiasaan baik yang dilakukan dalam keluarga. Harapannya, kebiasaan baik itu akan menjadi bekal kelak ketika mereka dewasa. Saya berharap, dengan “menanam” kebiasaan baik, kami akan “menuai” pula hal-hal yang baik.

Nutrisi Tubuh

Ada beberapa kebiasaan yang kami terapkan di rumah untuk menjaga asupan nutrisi tubuh anak-anak.

Pertama, menciptakan pola dan kebiasaan makan yang baik untuk anak-anak. Misalnya, membiasakan anak-anak makan sayur dan buah setiap hari; sarapan; dan tidak jajan sembarangan. Hal ini kami mulai pada diri sendiri. Jadi, anak-anak melihat sendiri kebiasaan itu pun kami lakukan, bukan hanya kami perintahkan. Hasilnya, apapun yang terhidang di meja makan mereka menyantapnya dengan lahap. Mereka biasa makan pecel yang sarat sayuran, gado-gado, dan mencemil buah.

Buah
Sayur

Pernah suatu ketika seorang kerabat heran melihat anak-anak makan brokoli rebus selahap makan ayam goreng tepung.

Kok bisa mereka begitu? Biasanya anak-anak nggak suka sayur. Anakku susaaah banget makan sayur. Malah suka banget makan kentang goreng, ayam goreng tepung, dan makan jajanan.”

Saya hanya tersenyum sambil mengatakan bahwa mereka terbiasa makan sayur sejak setiap hari. Pada akhirnya dalam perbincangan tersebut, dia menemukan sendiri jawabannya, bahwa kebiasaan makan sayur tidak bisa muncul secara instan. Pola makan anak-anak terbentuk sejak dia dalam kandungan, saat asupan nutrisi dari tubuh ibu mengalir ke dalam tubuh bayi. Lalu berlanjut pada masa-masa pertumbuhan sang anak. Akan sulit mengubah pola makan jika sejak dalam kandungan sang ibu sudah terbiasa mengonsumsi makanan yang kurang nutrisi.

Anak-anak

Tidak berarti anak-anak saya tidak pernah makan fast food. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, mereka pun pernah merengek soal makanan. Saat memenuhi undangan pesta ulang tahun teman atau mereka benar-benar ingin mencicipi sesuatu yang berbeda, kami pun membiarkan mereka makan fast food. Awalnya mereka senang. Lama kelamaan, lidah dan mulut mereka pun memilih. Semakin bertambah usia, jika ditawarkan, mereka malah tak mau fast food. Katanya, “Eneg rasanya.”

Masalah jajan kami juga tidak sekadar melarang. Kami berikan contoh yang konsisten kami lakukan. Kamu sering membawa bekal saat bepergian. Pelan-pelan, kami jelaskan bahwa makanan yang kita bawa sendiri lebih terjamin kebersihan dan kesehatannya. Jika kami tak sempat menyiapkan bekal, kami memilih membeli makanan di tempat yang bersih.

Hal kedua yang kami lakukan untuk memenuhi nutrisi tubuh adalah olahraga dan istirahat. Anak-anak terbiasa tidur teratur, umumnya mulai sekitat pukul 9 malam. Namun, kadang kala mereka tidak bisa tidur apabila kurang beraktivitas atau menunggu kami. Jika ini terjadi, mereka akan bangun terlambat dan lebih rewel. Untuk itu, kami berusaha memberikan aktivitas untuk mereka. Aktivitas gerak tubuh juga membuat mereka mengeluarkan keringat. Aktivitas yang minim gerak seperti menonton televisi dan bermain gadget sebisa mungkin kami kurangi.

Bersepeda


Nutrisi Otak

Ada kalanya saya takjub menyadari kecerdasan natural putri-putri kami. Si sulung Keisya, punya minat besar terhadap huruf-huruf sehingga di usia 4 tahun dia bisa membaca buku sendiri. Saat 6 tahun, dia belajar menulis cerita di suatu workshop. Tak lama setelah dia berulangtahun ke-8, buku pertamanya terbit. Keisya bagai jelmaan masa kecil saya dalam sifat dan karakter. Cita-citanya pun mengikuti saya. Setiap kali ditanya, jawabannya konsisten hingga sekarang, menjadi penulis.

Si kembar Kiera dan Kiara, serupa tapi tak sama. Kiera yang lebih ekspresif dan feminim suka menggambar. Di usia 4,5 tahun dia bisa menirukan gambar manga yang dibuat kakaknya. Gambar-gambar yang dibuatnya rapi goresannya, berkarakkter, dan dia bisa menceritakan gambar tersebut. Dia sering membawa gambar yang dibuatnya sendiri untuk guru dan teman-temannya di sekolah. Cita-citanya masih berubah-ubah. Tapi seringkali yang dikatakan menjadi Princess.

Kiara berkebalikan dengan Kiera. Kiara cenderung tomboy dan introvert. Hatinya lembut, mudah tersentuh. Dia suka mobil-mobilan, pandai merangkai puzzle, dan telaten bermain lego. Cita-citanya maskulin, menjadi Superman.

Melihat bakat mereka tersebut ada beberapa hal yang berusaha kami turunkan pada mereka, antara lain:

    Menularkan kebiasaan cinta buku

Sedari kecil, kami membanjiri anak-anak dengan buku. Setidaknya 1-2 kali dalam sebulan kami pergi ke toko buku. Anak-anak boleh memilih buku kesukaannya, lalu saya dan suami menyortir lagi buku-buku tersebut.

Aktivitas lain yang sering kami lakukan adalah membacakan cerita sebelum tidur dan saat bangun tidur. Mereka juga berlatih menceritakan ulang cerita yang telah mereka dengar. Uniknya, seiring dengan bertambahnya usia, mereka seringkali meneruskan cerita dengan versi mereka sendiri.

Membaca


Membacakan


Untuk si sulung, dia mulai rajin mengetik cerita karangannya. Untuk si kembar, yang belum belajar menulis, kadang-kadang, saya ajak mereka melakukan permainan “merangkai kalimat”. Caranya, saya berikan kalimat pertama, dan mereka yang meneruskan ceritanya.

Serius

Keisya

Saya berharap mereka tumbuh menjadi individu yang suka membaca dan terbiasa menulis. Saya tekankan pula pada mereka, terutama si sulung, bahwa apapun cita-cita mereka, menulis merupakan modal dasar yang diperlukan oleh semua profesi.


Mengembangkan potensi dan aktivitas positif

Di usia balita, saya dan suami sepakat untuk tidak membebani anak-anak dengan berbagai kursus. Saya lebih memilih kursus yang berbau seni sesuai dengan potensi mereka. Si sulung pernah mengikuti les vocal dan menggambar. Kami juga mendorongnya mengikuti berbagai workshop menulis cerita anak. Targetnya tidak muluk-muluk, mood menulisnya kembali bagus saat bertemu teman-teman yang juga suka menulis.

Si kembar juga ikut kursus menggambar. Tentu saja, ada kalanya mereka “mogok” beraktivitas sehingga terpaksa berhenti beraktivitas untuk sementara waktu. Namun, seringkali, mereka kembali bersemangat saat mengikuti lomba.

Oya, saya sering mengikutkan anak-anak pada berbagai lomba supaya mereka terbiasa berkompetisi secara sehat. Tidak selalu mereka menang, namun setiap lomba selalu membawa cerita yang baru untuk mereka.

Menanamkan kebiasaan bertanya dan diskusi

Kebiasaan lain yang kami lakukan adalah banyak bertanya dan diskusi. Anak-anak bebas bertanya tentang berbagai hal. Kalau pun kami tidak tahu jawabannya, kami mencari tahu sama-sama di internet. Pertanyaan-pertanyaan mereka seringkali mencengangkan. Misalnya, “Mengapa langit berwarna biru?” “Mengapa habis hujan ada pelangi?” “Dari mana datangnya bayi?” dan sebagainya.

Untuk kegiatan-kegiatan yang kami lakukan bersama seperti pergi berlibur, kami melibatkan anak-anak. Mereka kami ajak memilih tempat yang akan mereka kunjungi. Tentu saja, tetap kami yang berperan. Jika kami tidak menyetujui pilihannya, kami berikan alasannya. Mereka pun berlatih menerima pendapat orang lain dengan lapang dada.

Ada dua hal yang kami harapkan dari kebiasaan ini. Pertama, anak-anak terbiasa berpikir logis (karena kami tidak serta merta melarang mereka melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas) dan mengetahui bahwa ada sebab akibat dari suatu perbuatan.

Kedua, kebiasaan ini bisa membuat mereka lebih jujur dan terbuka pada kami. Paling tidak, mereka terbiasa menjadikan orangtua sebagai tempat bertanya yang pertama kali mereka tuju. Dengan demikian, mereka tidak akan mencari jawaban dari luar, yang tentu saja kami khawatirkan kebenarannya.

Nutrisi Jiwa dan Kasih Sayang

Calon pemimpin masa depan haruslah punya empati yang besar. Karena itu, kami pun mempersiapkan anak-anak supaya tumbuh menjadi generasi yang peka terhadap lingkungan dan sesama. Nutrisi jiwa dan kasih sayang ini kami berikan pada anak-anak melalui hal-hal berikut ini:

Membangun bonding yang kuat antara orangtua dan anak

Nutrisi jiwa yang penting bagi anak adalah kasih sayang dari orangtuanya. Oleh karena itu, ikatan atau bonding antara orangtua dan anak sebaiknya dibangun sejak kecil. Di keluarga kda kalanya, masing-masing anak secara bergiliran mendapatkan kesempatan pergi berdua bersama salah satu dari kami. Misalnya saya dan si sulung pergi ke toko buku berdua. Di lain kali, salah satu dari si kembar pergi bersepeda bersama ayahnya.

Momen-momen seperti ini kami harapkan menjadi hal istimewa yang akan mereka kenang selamanya dan menjadi dasar ikatan yang kuat antara di antara kami.

Kegiatan

Menanamkan semangat berbagi

Supaya anak-anak punya empati pada sesama, kami mengajarkan pula pada mereka untuk berbagi. Di sekolah, mereka terbiasa membagi uang sakunya dengan infak harian. Mulai tahun ini mereka punya satu celengan amal di rumah. Rencananya, ketika nanti penuh, uangnya akan kami pergunakan untuk menyumbang anak-anak panti asuhan.

Pernah pula saya ajak anak-anak ke sebuah SLB. Di sana, mereka melihat sendiri anak-anak yang berbeda dengan mereka tapi punya keistimewaan. Mereka belajar untuk menghargai dan menyayangi orang lain.

Menanamkan nilai-nilai positif untuk anak

Bagi saya, anak-anak sudah seharusnya belajar menghargai orang lain dan bertanggung jawab pada diri sendiri. Jika ini dilakukan sejak kecil pada akhirnya mereka juga akan menjadi individu yang tangguh dan berkarakter baik. Banyak hal yang terlihat sepele tapi sebenarnya penting. Misalnya, sabar saat antre, disiplin menggunakan waktu, berani berkata “tidak”, belajar mandiri dan bertanggung jawab pada diri sendiri.

Meski belum sempurna, anak-anak saya biasakan untuk menyiapkan pakaian, mandi, makan, dan mencuci piring yang mereka gunakan sendiri. Khusus untuk si sulung, sejak mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari temannya, saya ajarkan untuk berani berkata “tidak”. Sedikit-sedikit, dia juga mulai memahami bahwa bullying bisa terjadi di mana saja.

Menanamkan nilai-nilai positif ini tidak semudah membalikkan tangan, butuh proses yang lama dan konsistensi. Karenanya, sering saya berpikir bahwa menjadi orangtua butuh banyak trial dan error. Namun demikian, banyak pula hal yang saya syukuri. Kami sebagai orangtua ikut bertumbuh menjadi lebih baik karena harus memperbaiki diri pula.

Mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa

Last but not least, nutrisi jiwa yang paling penting adalah dekat dengan sang pencipta. Merasa dekat dengan-Nya akan menjadikan anak-anak sebagai seorang yang takut pada larangan-Nya sekaligus taat pada perintah-Nya. Saya berharap, rajin beribadah dan mengingat Yang Maha Kuasa membuat anak-anak selalu ingat pula pada nurani. Calon pemimping harus mendengarkan nurani, supaya mengutamakan kepentingan umum dibanding melakukan sesuatu untuk kepentingan diri sendiri.


Menanamkan rasa cinta tanah air

Bukan sekali dua kali anak-anak merengek ingin pergi berlibur ke luar negeri. Kadang-kadang, kami ingin mengabulkannya. Tapi mengingat biayanya tak sedikit, kami sering mengalihkan ke tempat lain di Indonesia. Sebelum pergi, kami membekali anak-anak dengan pengetahuan tentang tempat tersebut. Ternyata, mereka senang sekali. Misi kami memperkenalkan Indonesia pun tercapai. Mereka jadi tahu, Indonesia pun indah. 

Bermain

Menjadi orangtua memang bukan hal yang mudah. Butuh sekolah seumur hidup dan seringkali masih saja salah. Tapi, jika bukan kita, sebagai orangtua, siapa lagi yang bisa diandalkan untuk membimbing anak-anak menjadi calon pemimpin yang cakap? Saya yakin, kebiasaan-kebiasaan baik di dalam keluarga yang dilakukan terus menerus secara konsisten akan berbuah manis kelak.

Tulisan