Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Membentuk Anak Berkarakter Kuat agar Antikorupsi: Sebuah Tugas bagi Ibu

Oleh w widjoraras 21 Oct 2013

Korupsi di negeri tercinta ini bagaikan penyakit kanker stadium empat. Sel-sel korupsi menggerogoti sel-sel kehidupan bangsa. Menjalar dan menular tak terhentikan. Berbagai upaya untuk menyembuhkan belum menjangkau akarnya. Keprihatinan makin berlipat, saat para koruptor justru menebar senyum dan melambaikan tangan bak artis di layar TV. Menyedihkan! Sampai kapan korupsi dipelihara di negeri ini? Apa yang harus dilakukan?

Etika dan Nilai Antikorupsi

Dari beberapa informasi yang kudapatkan di internet dan buku, yang namanya korupsi lebih sering dikaitkan dengan korupsi yang dilakukan oleh pejabat, pegawai negeri, dan politisi terkait dengan pengelolaan negara. Padahal sebenarnya korupsi secara umum terjadi di berbagai kalangan. Sebuah buku saku berjudul “Pahami Dulu Baru Lawan” yang disusun KPK memberi penjelasan lengkap tentang korupsi, baik dalam kacamata hukum maupun contoh korupsi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di kalangan anak muda. Ada tujuh kelompok korupsi yang dijelaskan, yaitu:

  1. kerugian keuntungan negara
  2. suap menyuap (sogokan, pelicin)
  3. penggelapan dalam jabatan/penyalahgunaan jabatan
  4. pemerasan
  5. perbuatan curang
  6. benturan kepentingan dalam pengadaan
  7. gratifikasi (pemberian hadiah) 

Buku saku ini membukakan mataku lebih jeli mengenali korupsi yang terjadi di sekitarku. Sebelumnya aku hanya melihatnya sebagai tindakan tak terpuji, namun tak menyadari bahwa peristiwa tersebut termasuk korupsi. Contohnya? Ada orangtua yang menyuap guru agar anaknya mendapat nilai baik. Ada guru yang memberikan kisi-kisi soal ulangan pada murid-murid yang mengikuti les di rumahnya. Anak-anak SMA membeli soal bocoran UN, dan sibuk mencetak jawabannya di pagi-pagi buta pada hari ujian. Korupsi telah merasuk dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga orang tak sadar melakukannya. Termasuk aku, yang saat kuliah dulu sering bolos dan titip absen. Ternyata keduanya termasuk korupsi, kelompok nomor 5 (perbuatan curang). Sebenarnya alasanku hanya karena metode pemberian kuliah yang tak menarik dan membosankan dari dosen ;p.. Hmmm.. seharusnya bukan alasan untuk bolos dan titip absen ya?

Menurut KPK, ada sembilan nilai antikorupsi, yaitu adil, berani, peduli, jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana dan mandiri. Antikorupsi adalah salah satu etika yang harus teguh dipegang. Bagaimana cara mendidik anak, agar memegang sembilan nilai antikorupsi tersebut? Aku mendapatkan jawaban dari situs pendidikankarakter.com. Sebagai ibu dari seorang putri berusia enam tahun, yang kujanjikan untuk negeri ini (dan diriku sendiri) adalah mendidik anakku sebaik-baiknya. Sebagian sudah lancar kulakukan, sebagian aku belum mahir, sebagian lagi masih dalam tahap rencana. Menurutku, anak berkarakter kuat pasti mampu memegang sembilan nilai antikorupsi tersebut.

Peran Unik Ibu yang Tak Terhindarkan

Peran ibu sangat penting dalam perkembangan anak. Ini bukan mengecilkan peran ayah lho. Pandangan umum mengakui adanya kedekatan fisik, batin dan emosi antara ibu dan anak. Tak heranlah, karena pada awal kehidupannya (sekitar 40 minggu), anak melekat pada tubuh ibunya dalam rahim. Kedekatan istimewa ini menjadikan seorang ibu bertanggung jawab secara unik dalam pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Ya, unik! Sejak awal, seorang ibu pada dasarnya adalah konektor, atau penghubung si anak dengan “dunia luar”. Secara alami, ibu adalah tokoh kepercayaan dan panutan si anak.

Membentuk Karakter Anak adalah Kunci

Membentuk karakter anak yang kuat. Itu kata kunci peran ibu, agar anaknya mampu memiliki dan memegang teguh sembilan nilai antikorupsi. Karakter anak berasal dari keluarga, karena bagi anak di Indonesia, hingga umur 18 tahun, 60 hingga 80 persen waktunya dihabiskan bersama keluarga. Dalam keluarga, peran ibu dalam mendidik anaknya tak diragukan lagi. Bagaimana cara ibu membentuk karakter anaknya? Jawaban yang kudapatkan cukup beragam karena dilihat dari sisi berlainan. Jika digabungkan, seorang ibu bertugas memastikan pemenuhan kebutuhan emosi dasar; keseimbangan aspek daya cipta, rasa, dan karsa; serta keharmonisan hubungan.

  1. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Emosi

Kebutuhan dasar emosi pertama adalah kebutuhan akan rasa aman. Anak butuh keluarga yang hangat, tempat ia merasa aman untuk mengeksplorasi dunianya. Ini masuk akal, mengingat seorang anak mengalami beberapa kali tahapan perkembangan dalam hidupnya. Setelah sekitar sembilan bulan dalam rahim, anak harus meninggalkannya dan beradaptasi dengan dunia di luar tubuh ibunya. Ia mulai bernafas, makan, minum dan berinteraksi langsung dengan dunia. Tahap berikutnya, si anak mulai masuk sekolah, belajar tentang banyak hal serta beradaptasi dengan lingkungan yang lebih luas. Begitu seterusnya, bahkan saat dewasa pun, yang namanya perubahan dan adaptasi adalah hal yang lumrah dalam hidup ini. Ingat kata Charles Darwin, makhluk yang mampu bertahan hidup bukanlah yang paling pintar atau paling kuat, melainkan yang paling mampu beradaptasi.

Tugas ibu memastikan anaknya mendapatkan rasa aman. Ada anak pemberani yang langsung mengeksplorasi lingkungan sekitar dan hal-hal baru tanpa kesulitan. Namun banyak anak yang ragu, bahkan takut dengan hal atau lingkungan baru. Hari pertama masuk sekolah menjadi tontonan menarik bagaimana anak-anak belajar beradaptasi dengan lingkungan lebih luas. Semakin tebal rasa aman yang dirasakan, semakin percaya diri seorang anak melalui tahapan-tahapan tumbuh kembangnya.

Anakku tak mengalami kesulitan yang berarti di hari pertama sekolahnya. Ia juga mudah bergaul dengan anak dan orang lain. Namun, ada beberapa kesempatan dimana anakku jadi pemalu dan “nempel” ibunya. Misalnya, saat pertama kali ikut les menari. Anakku ragu untuk langsung bergabung karena melihat anak-anak lain terlihat luwes menari. Ia butuh beberapa kali bujukan dan genggaman tangan untuk meyakinkan bahwa ia berani dan bisa. Ya, kadang tugas ibu cukup sederhana, seperti memberikan bujukan, tepukan di pundak, pelukan, genggaman tangan, dan ekstra kesabaran untuk membantu anak mendapatkan rasa aman.

Kebutuhan dasar emosi kedua adalah kebutuhan untuk mengendalikan. Menjadi bagian dari tumbuh kembang anak, bahwa anak belajar mengendalikan. Kemampuan mengendalikan nantinya diperlukan anak, terutama saat ia dewasa kelak untuk mengatur hidupnya. Sering terlihat, anak-anak mengatur temannya dalam permainan atau kegiatan bersama. Tangisan atau perkelahian kadang mewarnainya. Bahkan, banyak anak melancarkan aksi bujuk rayu kepada ayah atau ibunya agar menuruti kemauannya.

Urusan yang satu ini menurutku cukup sulit. Jika ibu terlalu keras dan memaksakan kehendaknya, si anak bisa tumbuh jadi anak peragu dan sulit mengambil keputusan. Sebaliknya, jika ibu terlalu menuruti kehendak anaknya, si anak bisa tumbuh jadi manja dan sulit diatur. Kuncinya terletak pada kepiawaian si ibu menghadapi anaknya. Soal ini aku belum piawai. Aku masih kerepotan menerapkan disiplin kepada anakku.

Di situsnya pendidikankarakter.com, Timotius Wibowo menjelaskan bahwa disiplin adalah suatu proses yang bertahap melatih seorang anak melatih kontrol diri. Selanjutnya disarankan supaya kita menerapkan disiplin positif. Disiplin positif membangun harga diri. Sebaliknya, disiplin negatif harus dihindari karena merusak harga diri anak dengan berbagai hukuman dan harapan yang tak pada tempatnya. Untuk menanamkan sebuah kebiasaan baru, dibutuhkan pengulangan sebanyak 21 hari sebelum jadi kebiasaan yang otomatis. Ini informasi yang baru bagiku, yang kujadikan alasan untuk melatih diri lebih sabar :D

Kebutuhan dasar emosi yang ketiga adalah kebutuhan untuk diterima. Menerima si anak apa adanya sering dirasa sulit oleh orang tua. Ada banyak harapan kadang dibebankan pada si anak, tanpa mempertimbangkan keadaannya. Kadang orangtua terjebak menetapkan standar bagi anaknya, dengan alibi memilihkan yang terbaik. Kadang si anak dibanding-bandingkan dengan yang lain. Aku kadang keceplosan membandingkan anakku dengan diriku waktu kecil. Aku harus mencekoki diriku, bahwa meskipun ia adalah anakku, namun ia adalah seorang pribadi unik. Aku harus belajar menerima dan mencintai dia apa adanya. Seperti lirik lagu, I love you just the way you are.

  1. Keseimbangan Aspek Daya Cipta, Rasa, dan Karsa

Tes IQ pernah (dan masih) diagungkan untuk memprediksi kesuksesan seseorang. Nilai tes IQ yang rendah seakan jaminan kegagalan seseorang. Padahal, kecerdasan intelegensia, atau daya cipta bukan satu-satunya ukuran yang harus dilihat. Para ahli menemukan pentingnya EQ, atau aspek rasa, atau sering disebut sebagai kecerdasan emosi. Anak pintar berIQ tinggi belum tentu memiliki tenggang rasa dan kemampuan hidup bermasyarakat yang baik. Orang berIQ biasa-biasa saja, misalnya, bisa jadi meraih kesuksesan luar biasa karena piawai lobbying dan kerja sama dalam tim. Temuan para ahli menyebutkan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan 80 persen kecerdasan emosi dan 20 persen daya ciptanya. Satu hal lagi yang dibutuhkan adalah kemampuan karsa, atau action. Intelegensia dan kecerdasan emosi yang tinggi tak akan berarti jika si anak tak bisa bertindak. Jika berlangsung terus menerus, ia akan jadi NATO (no action, talk only, atau hanya bisa ngomong tanpa melakukan sesuatu).

Tugas ibu memastikan anaknya memiliki ketiga aspek tersebut, sedapat mungkin seimbang. Kemampuan akademis anak di sekolah bukanlah satu-satunya yang harus dipastikan oleh ibu. Dukung kesukaan atau minat si anak.  Beri kesempatan pada anak untuk bermain dengan teman-temannya. Menangis atau bertengkar dengan teman merupakan bagian dari latihan yang dibutuhkan anak. Beri anak kesempatan belajar melakukan banyak hal untuk melatih keterampilannya. Seorang teman, saat awal kos di kota lain, ternyata tidak bisa menyalakan kompor. Lucu ya? Atau menyedihkan?

Ada lagi contoh menyedihkan saat anakku ikut lomba mewarnai sekitar dua minggu lalu. Panitia menerapkan aturan bahwa orang tua dilarang membantu anak-anak saat lomba. Di kategori anak TK, sebagian besar ibu-ibu menjadi asisten dan pembisik anaknya. Di kategori lebih besar, seorang bapak tampak memberi instruksi kepada anaknya. Seorang guru lukis seperti si bapak ini harusnya tahu persis tentang aturan lomba lukis dan tak melanggarnya. Secara tak langsung, mereka ini justru mengajari anak-anak melanggar aturan dan menghalalkan segala cara demi keuntungan diri. Terlebih lagi, mereka tak memberi kesempatan anaknya melatih kecerdasan emosinya. Menyedihkan ya?

  1. Tercipta Hubungan Segitiga yang Harmonis

Pentingnya kecerdasan emosi (yang 80 persen tadi) dalam menentukan kesuksesan seseorang, ternyata berkaitan dengan kemampuan anak membangun hubungan emosi dengan diri sendiri, lingkungan (sosial dan alam sekitar), serta hubungan spiritual dengan Tuhan. Ketiga macam hubungan ini disebut hubungan segitiga (triangle relationship). Kecakapan membangun tiga hubungan ini ditemukan pada karakter orang-orang sukses. Dan, karakter seperti ini disarankan untuk dibentuk pada usia dini, atau kadang disebut golden age atau masa emas anak.

Tugas ibu adalah memastikan anaknya memiliki pemahaman positif terhadap ketiga jenis hubungan ini. Ibu bertugas mendorong anak memiliki pemahaman diri yang positif. Contohnya antara lain, anak dilatih menjadi percaya diri, mampu mengambil keputusan bagi dirinya, dan mengembangkan potensi diri. Ibu bertugas mendampingi anaknya berinteraksi dengan lingkungannya, termasuk menghargai alam sekitarnya. Contohnya, anak diajarkan bersikap sopan kepada orangtua, bersikap ksatria saat kalah dalam lomba atau permainan, termasuk diajarkan untuk menyayangi binatang dan tanaman, serta membuang sampah di tempatnya. Ibu juga hendaknya membimbing anaknya mengenal dan menjalin hubungan dekat dengan Tuhan. Contohnya, anak diajak terbiasa berdoa dan mensyukuri atas semua hal yang telah diterimanya.

Memanfaatkan Golden Age dengan Optimal

Kenapa golden age selalu digembar-gemborkan? Otak anak pada masa tersebut ternyata mengalami perkembangan sangat pesat (hingga 80 persen). Kadang diibaratkan sebagai sebuah spons, yang sangat cepat menyerap semua informasi tanpa membedakan baik atau buruk. Ini yang melandasi saran para ahli kepada orangtua untuk memanfaatkan secara optimal golden age ini. Ada banyak ibu (termasuk diriku) yang (meskipun dengan berat hati) memutuskan berhenti bekerja dan mengejar karir demi mendampingi sepenuhnya masa emas sang buah hati. Tentu saja bukan berarti semua ibu harus melakukannya, karena tiap orang atau keluarga memiliki pertimbangan masing-masing.

Yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya memanfaatkan masa emas ini. Timotius Wibowo membagikan rahasianya dalam menganalisis pasiennya. Menurutnya, masalah yang muncul pada individu dewasa sebagian besar berasal dari hambatan masa kecilnya, yaitu usia 0 – 7 tahun. Pada usia ini anak membutuhkan pemenuhan kebutuhan dasar emosinya (baca kembali pembahasan sebelumnya). Jika tidak dipenuhi, terjadilah hambatan atau mental block. Hambatan di masa kecil umumnya memicu masalah yang akan muncul pada usia 22 tahun ke atas.

Mulailah dari Diri Sendiri

Membentuk karakter anak butuh waktu dan komitmen ibu. Sehebat-hebatnya seorang ibu, ia takkan mampu melakukannya sendirian. Ia butuh dukungan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Bagai peribahasa it takes a village to raise a child. Dibutuhkan dukungan setidaknya sebuah desa (bukan hanya ibu atau keluarganya) untuk membesarkan seorang anak.

Perlu diingat bahwa lingkungan yang dibutuhkan anak adalah lingkungan yang juga berkarakter positif. Bagaimana memastikan lingkungan kita (keluarga, sekolah dan masyarakat) memiliki karakter kuat dan positif? Ternyata kuncinya harus dimulai dari diri sendiri, dalam hal ini adalah si ibu. Seorang ibu harus berusaha keras memperbaiki diri sehingga mampu menjadi teladan bagi anaknya. Bagaimana akan mengatur orang lain jika diri sendiri bermasalah? Seorang ibu berkarakter positif akan menularkan pandangan dan pemahaman positif kepada keluarganya. Selanjutnya, keluarga berkarakter positif berkontribusi penting pada lingkungan yang lebih luas, sehingga lingkungan pun menjadi positif dan kuat.

Membentuk karakter anak-anak yang kuat secara tidak langsung akan menghasilkan generasi penerus bangsa yang hebat. Mereka akan jadi pemimpin-pemimpin negeri yang antikorupsi. Mereka bekerja sama dan bahu membahu mengejar ketinggalan bangsa ini dan mewujudkan masa depan yang lebih cerah. Itu harapan kita semua, bukan? (R)

nyoman selem alias rarasati alias wrenges widjoraras

Referensi:

www.kpk.go.id

www.pendidikankarakter.com

#LombaBlogNUB