Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Dalam Hidup Ada Tantangan, Nak

Oleh Mugniar 30 Sep 2013

Pelajaran Hidup yang Membuka Mata Hati

Sekali lagi, sebuah pelajaran hidup tersaji di depan saya …

Seorang pemuda tampan, berpostur sedang dipapah seorang lelaki tegap. Wajahnya memperlihatkan mimik menahan sakit yang teramat sangat sementara kakinya tak kuasa berjalan tanpa bantuan papahan orang lain. Kakinya kesakitan.

Seorang perempuan paruh baya berjilbab, ibu pemuda itu ada di dekat putranya. Saya meringis mengamati wajah sang pemuda, mencoba menyelami rasa sakit yang membuatnya “teraduh-aduh”.

Pemuda itu tak sadar merengek, memanggil ibunya. “Sabar ko, istighfar!” seru sang ibu, menenangkan putranya. Pemuda itu mencoba merebahkan kepalanya di pangkuan ibundanya. Kalau dalam kondisi sehat pasti lebay sekali kelihatannya. Kemudian pemuda itu mengeluarkan suara erangan yang lebih keras. Sang ibu tak henti menenangkannya.

 Saya tergelitik untuk bertanya, “Berapa umurnya anak ta’, Bu?”

“Dua puluh satu tahun,” sang ibu menjawab dengan ramah.

Kemudian mengalirlah cerita dari bibir ibu itu, tanpa saya minta, “Anakku ini sebenarnya sudah kuliah di Sekolah Pelayaran tapi dia berhenti, tidak tahu kenapa. Kalau malam di suka nongkrong sampai tengah malam di depan rumah. Tengah malam itu, tiba-tiba muncul seorang anak kecil dan menyerang kakinya. Sejak saat itu dia kesakitan.”

Lewat tengah malam, ada anak kecil toba-tiba muncul di dekat beberapa anak muda yang sedang nongkrong? Kalau dipikir ini tak masuk akal. Tapi  begitulah yang dilihat dan dirasakan pemuda itu.

 “Sudah berapa hari begini, Bu?” tanya saya lagi.

“Tiga hari.”

 Lalu ibu itu melanjutkan, “Pernah dia menangis-menangis katanya ada yang mau ambil kepalanya.”

Duh, membayangkan anak muda segagah itu ogah kuliah padahal orangtuanya mampu, nongkrong tidak jelas semalaman di depan rumah, dan sekarang sedang terkena penyakit aneh … hati saya merasa amat miris. Hal ini makin menyadarkan saya, tak mudah menjadi orangtua. Tak mudah menjadi ibu. Saya menyembunyikan mata saya yang mulai basah dari pandangan orang-orang yang ada di situ. Ya Allah … bimbing saya supaya bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anak.

Seorang bapak tua yang juga menyaksikan kejadian itu dan mengenal baik kedua anak-beranak itu menjadi tempat curhat saya, “Saya takut, Pak melihat yang seperti itu. Karena Saya juga punya anak.”

“Jadi orangtua itu memang susah, memang repot. Jadi orangtua itu harus sabar,” nasihanya bijak. Bapak tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Bukannya Saya mau menjelek-jelekkan. Tapi ibu itu, dulu terlalu santai dalam membesarkan anaknya. Bagaimana anaknya bisa istighfar kalau tidak terbiasa istighfar?”

Ingatan saya terhubung kepada orang-orang yang telah dewasa bahkan sudah bisa dibilang tua tetapi masih kekanak-kanakan dalam berperilaku. Ada yang tak henti menyusahkan orangtuanya dan keluarga besarnya, dan mereka sama sekali tak merasa bersalah.

Pembiasaan untuk Penananaman Karakter

Dari berbagai pelajaran hidup, kata kunci yang saya genggam, yang memegang peranan penting dalam pengasuhan anak adalah “pembiasaan. Laurence Steinberg, Ph.D., profesor psikologi dari Temple University AS mengistilahkannya dengan “pengasuhan yang penuh pertimbangan”. Atau bisa juga diistilahkan dengan “pendidikan karakter”.

Ketiga istilah dalam tanda petik itu bermuara pada pengertian bahwa orangtua harus mempunyai tujuan dalam melaksanakan setiap step dalam pengasuhan anaknya dan melaksanakannya sejak dini, berusaha menjadikannya sebagai kebiasaan sang anak supaya terbentuk karakter yang melekat kuat dalam diri anak.

Bertahun yang lalu, saat membaca uraian tentang kecerdasan emosional yang bisa dipecah ke dalam 5 wilayah, saya tersentak. Betapa tak mudah menjadi seorang ibu. Bila saya hendak membentuk karakter anak-anak saya yang dimaktub dalam kelima wilayah tersebut, maka saya harus terlebih dahulu memilikinya dalam karakter saya!

Mari kita simak kelima wilayah kecerdasan emosional itu[i]:

  1. Mengenali emosi diri (memiliki kewaspadaan akan perasaan diri sendiri tidak mudah dikendalikan oleh emosinya sendiri)
  2. Mengelola dan mengekspresikan emosi (mampu dengan cepat menguasai perasaan-perasaan negatif yang timbul, dan bangkit kembali ke kehidupan emosi yang normal)
  3. Memotivasi diri sendiri (tekun, gigih, dan sigap mencari solusi kehidupan, tidak mudah menyerah)
  4. Mengenali emosi orang lain (penelitian pada 1011 anak yang memiliki kemampuan ini merupakan anak yang secara emosional paling mantap. Mereka tergolong paling populer di sekolah, lebih berhasil di sekolah meski IQ rata-rata mereka tidak lebih tinggi dari anak yang kurang mampu membaca pesan non verbal)
  5. Membina hubungan (dalam situasi pergaulan sosial, orang yang memiliki kemampuan ini dikenal sebagai kawan yang menyenangkan, mereka membuat orang di sekitarnya merasa akrab dan aman).

Mana mungkin saya bisa mengajarkan kelima hal ini kepada anak-anak saya bila saya tak memilikinya? Begitu pun dalam mengajarkan shalat dan tilawah, tentu saja saya harus menjadi orang yang menegakkan shalat dan melakukan tilawah setiap harinya jika ingin anak saya juga melakukannya. Ada cerita, seorang ibu menyuruh putranya yang sudah duduk di bangku SMA untuk shalat. Sang ibu malah di-counter balik oleh putranya, “Mama suruh Saya shalat padahal Mama sendiri tidak shalat!” Nah lho.

Dalam buku Ensiklopedia Perkembangan Anak disebutkan bahwa sampai batasan tertentu, seberapa baik anak-anak mengendalikan kekecewaan emosional bergantung kepada kepribadiannya. Mereka juga belajar dari orangtuanya, jadi cobalah mengendalikan emosi Anda sendiri di depan anak Anda[ii].

Menyadari tanggung jawab dan tantangan masa depan anak-anak yang teramat besar membuat saya menyadari betapa lemah diri saya. Saya makin yakin, tidak akan mampu menjalaninya tanpa bantuan dari Sang Maha Kuasa. Untuk itu, do’a saya panjatkan setiap hari untuk kebaikan anak-anak saya.

Di antara segala kenaifan yang saya miliki, saya pun berusaha sebisa mungkin menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik pada anak-anak (pada si sulung (12 tahun) dan si tengah (7 tahun) terutama), termasuk dalam menyikapi kehidupan yang tak selalu indah. Contoh teknisnya di antaranya adalah dengan tak selalu memberikan apa yang mereka pinta dan memberi sanksi atas pelanggaran yang mereka lakukan.  

Contohnya pelaksanaannya, antara lain:

  • Selama tak membahayakan siapa pun, sesekali saya biarkan mereka menangis meraung-raung saat keinginan mereka tak dipenuhi. Karena bila setiap menangis dipenuhi, mereka belajar bahwa meraung-raung adalah cara supaya keinginan mereka dipenuhi.
  • Walau harga barang di warung sebelah murah, hanya berkisar Rp. 500 – Rp. 1.000, saya meminta mereka memilih mau yang mana. Boleh hanya satu atau dua saja.
  • Sanksi diterapkan kalau tak mau melaksanakan shalat. Usia 6 tahun, si sulung dan si tengah sudah dibiasakan melakukan shalat dan dikenakan sanksi jika lalai. Usia 10 tahun, hukum Islam berlaku bila dengan sengaja meninggalkan shalat. Sebelumnya, saya harus menjawab pertanyaan mereka tentang “untuk apa orang harus shalat”.
  • Tidak boleh suka meminta kepada nenek, kakek, tante, atau om, meski mereka keluarga dekat. Apa lagi kepada teman.
  • Meminta pertanggungjawaban, misalnya pengerjaan kewajiban sebelum menuntut hak. Seperti: harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dan belajar dengan baik kalau ingin mengikuti kegiatan ekstra kurikuler.
  • Boleh bermain HP dan komputer, tapi dengan batasan-batasan tertentu.

Pembiasaan

Konsisten menerapkannya tidaklah mulus. Rasanya seperti perjuangan berkesinambungan yang membuat saya jatuh-bangun. Bertentangan dengan anak-anak, walau mengiris hati rasanya, aturan tetap harus ditegakkan. Ini untuk kebaikan mereka sendiri di masa depan. Maka do’a senantiasa saya panjatkan agar bisa menjadi ibu yang baik.

Hasilnya bagaimana? Alhamdulillah, terlihat perbaikan sedikit demi sedikit. Walau anak-anak sering ngeyel, mereka bisa juga melakukannya. Mereka bisa melakukan shalat dan amat mengerti bila tak semua permintaan mereka saya penuhi. Dan tentu saja, saya tetap harus jatuh-bangun mengingatkan mereka. Jatuh-bangun mengupayakan kesabaran dan komitmen.

Saya selalu mengingat nasihat bapak tua itu, bahwa: jadi orangtua itu memang susah, memang repot. Jadi orangtua itu harus sabar. Well, jalan ke depan masih teramat panjang, semoga Allah senantiasa membimbing dan meridhai diri saya yang penuh kekurangan ini.

Makassar, 30 September 2013

Catatan:

  • Berapa umurnya anak ta’, Bu : Berapa umurnya anaknya, Bu? (dialek Bugis/Makassar)
  • Tulisan ini sudah diterbitkan dalam blog pribadi di link:

http://mugniarm.blogspot.com/2013/09/dalam-hidup-ada-tantangan-nak.html

Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Penulisan Blog “Peran Ibu Untuk Si Pemimpin Kecil

 


[i] Seri Ayahbunda. 1997. Mengembangkan Kecerdasan Emosi. Yayasan Aspirasi Pemuda

[ii] Cooper, C., Halsey, C., Laurent, S., dan Sullivan, K. 2009. Ensiklopedia Perkembangan Anak (judul asli: Your Child Year by Year). Nadia Lastiani. ESENSI – Erlangga Group.