Aku dan Janinku Terhubung Sangat Erat

Oleh nara 20 Feb 2012

Sedari jaman masih duduk di bangku SMP, saya telah mendapat pengetahuan bahwa seorang calon anak (janin) memperoleh asupan makanan lewat plasenta selama berada dalam perut ibunya. Maka, ibu hamil harus banyak makan karena jatahnya untuk berdua. Ibu hamil harus menjaga betul makanannya, karena ada calon manusia baru yang sangat bergantung padanya.

Setelah dewasa dan menikah, saya mendapat pengetahuan baru bahwa kondisi psikis ibu hamil akan berpengaruh pada bayinya. Pengaruhnya seperti apa? Waktu itu saya masih belum bisa memperkirakan seperti apa pengaruhnya. Apakah jika ibunya gelisah, lalu janinnya akan menendang lebih keras? Apakah jika ibunya sedang ada masalah dan ingin sendirian, lantas bayinya ikut diam karena tak mau menganggu ibunya? Apakah jika ibunya marah, lantas janinnya jadi lebih aktif berubah posisi?

Setelah memiliki dua orang anak, melihat tumbuh kembang mereka, barulah saya tahu bagaimana kondisi psikologis seorang ibu mempengaruhi janinnya. Bukan dalam bentuk tendangan, ketenangan, keaktifan bergerak. Tapi dalam bentuk yang lain.

Kehamilan Anak Pertama

Anak pertama, laki-laki, lahir 6 September 2009. Saat mengandung anak pertama ini, kondisi saya secara fisik sangat prima. Mual-mual sangat jarang saya alami, hanya terjadi jika saya habis makan jeruk dan daging ayam. Maka dua jenis makanan lama-lama saya hindari. Susu untuk ibu hamil, rajin saya konsumsi. Periksa ke bidan sebulan sekali, selalu diberi vitamin dan kapsul penambah darah, yang biasanya hanya saya habiskan setengah. Saya pun sering bepergian keluar kota, karena ditugaskan dinas luar oleh instansi dimana saya bekerja. Secara fisik, tak ada masalah dan keluhan bermasalah.

Kondisi psikis saya, bisa dibilang tak begitu baik. Ada begitu banyak masalah yang saya alami, terutama dengan keluarga. Pernikahan yang tak direstui kedua orang tua adalah masalah terbesar saya. Saya dibesarkan dalam keluarga, dimana kata ayah adalah sabda yang tak boleh dibantah. Saya dibesarkan dalam rasa takut dan tak pernah menentang apa yang dikatakan ayah. Saya tumbuh menjadi seorang gadis yang selalu berusaha menjadi yang terbaik, agar tak membuat ayah saya marah. Saya selalu merasa tak nyaman bila bersama ayah, karena sewaktu-waktu amarahnya dapat meledak, bahkan oleh hal remeh sekalipun.

Pernikahan saya adalah kali pertama saya ‘menentang’ kehendak ayah. Hal ini membuat ayah saya sangat murka, bahkan hingga mengucilkan saya. Ibu, kakak dan adik tak boleh berkomunikasi dengan saya. Akad nikah pun tanpa dihadiri pihak keluarga.

Selama hamil, saya masih sering merasa khawatir dan takut jika sewaktu-waktu ayah saya datang dan memarah-marahi saya. Saya sering bermimpi tiba-tiba ayah saya muncul di depan kontrakan saya, menyeret saya keluar, memaki-maki saya dan suami.

Ditambah lagi, kala itu karena kondisi pekerjaan, saya dan suami belum bisa tinggal serumah. Suami di sumatra, sementara saya di Jawa. Sendirian. Sering saya iri jika melihat ada wanita hamil periksa ke bidan diantar suaminya.

Perasaan takut, was-was ini terus berlangsung hingga usia kandungan saya 8 bulan. Setelah itu perasaan saya lebih tenang, karena entah karena apa, tiba-tiba ayah saya datang ke kontrakan kami, dan begitu melihat perut saya yang besar, beliau menangis. Beliau meminta maaf dan meminta saya menjaga betul-betul kandungan saya.

Rupanya, perasaan takut dan was-was ini mempengaruhi anak pertama saya. Dia lebih suka bersembunyi di kamar, berteriak-teriak memanggil saya untuk menemaninya, jika kebetulan di rumah sedang ada tamu. Anak saya ini pun, sedari bayi selalu menangis keras jika digendong oleh ayah saya. Apakah dia mewarisi perasaan takut dan tak nyaman yang saya miliki terhadap ayah saya?

Anak pertama saya pasti akan menangis keras jika saya berpamitan hendak ke kantor. Hal ini kadang membuat saya diam-diam saja berangkat ke kantor, kala dia sedang asyik bermain dengan mbak pengasuhnya, saya menyelinap keluar. Karena saya tak tahan mendengarnya menangis, saya pasti akan berbalik langkah, menggendong dan menenangkannya, ini membuat saya sering terlambak ke kantor.

Kehamilan Anak Kedua

Anak kedua saya, perempuan, lahir 28 Agustus 2010. Berselang satu tahun dengan kakaknya.

Menjalani kehamilan anak kedua, secara fisik dan psikis kondisi saya sangat prima. Bertugas keluar kota juga masih sering saya lakukan. Tak ada pantangan dalam hal makanan. Tak ada perut mual. Suami sudah pindah ke jawa, tinggal serumah. Susu untuk ibu hamil rajin dikonsumsi, periksa ke bidan sebulan sekali.

Perasaan saya benar-benar tenang, tak pernah ada masalah berarti menghampiri hidup saya. Anak pertama juga tumbuh sehat. Walau sering menggendong anak pertama, perut saya baik-baik saja. Kehamilan saya tak mengalami gangguan.

Kalau saya perhatikan, anak kedua saya ini lebih pemberani dibanding kakaknya. Jika kebetulan di rumah ada tamu, maka dia akan ikut dengan saya menemui tamu. Dia juga jarang menangis kalau saya tinggal pergi, mungkin merasa aman dan nyaman walau saya tak ada, seperti perasaan aman dan nyaman saya kala mengandungnya.

***

Dari dua kali hamil, dari mengamati perkembangan keduanya, saya jadi makin tahu bahwa kondisi fisik dan psikologis sang ibu sangat mempengaruhi kondisi fisik dan psikis janin yang dikandungnya. Alhamdulillah kedua anak saya tumbuh sehat, karena selama mereka dalam kandungan saya menghindari makan fastfood, saya memperbanyak makan buah dan sayur, saya minum susu khusus ibu hamil, saya juga minum vitamin dan kapsul peenambah darah yang diberikan bidan (walau cuma setengahnya hehehe…)

Pekerjaan berat saya selanjutnya adalah mengasuh dan membesarkan mereka dalam lingkungan yang sehat, baik fisik maupun psikis.

***

Tulisan ini dibuat, dalam rangka mengikuti lomba menulis blog dengan tema Ayo Dukung Bunda : Kesehatan Bunda Kesehatan Kita.  http://nutrisiuntukbangsa.org/blog-writing-competition/