Bunda, Begini Strategi Cegah Stunting Sejak Kehamilan

Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 27 Mar 2021

Stunting masih menjadi masalah utama di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyebut prevalensi stunting di Indonesia mencapai 30,8%. Meski angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2013 - sekitar 37,2% - namun masih tergolong tinggi karena sudah melebihi ambang batas dari yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 20%.

WHO mendefinisikan stunting sebagai gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Anak-anak didefinisikan mengalami pertumbuhan terhambat jika tinggi badan mereka terhadap usia lebih dari dua deviasi standar di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO.

Stunting pada awal kehidupan - terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan, yaitu sejak pembuahan sampai usia dua tahun, memiliki konsekuensi yang merugikan pada anak. WHO menyebut sejumlah konsekuensi stunting, antara lain kemampuan kognitif dan prestasi akademik yang buruk, upah orang dewasa yang rendah, produktivitas yang hilang dan, bila disertai dengan penambahan berat badan yang berlebihan di kemudian hari maka akan meningkatkan risiko penyakit kronis terkait nutrisi pada kehidupan anak saat ia dewasa.

Ciri-ciri anak yang tergolong stunting antara lain pertambahan tinggi badan tidak sesuai dengan standar kurva pertumbuhan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Dengan kata lain, tinggi badannya lebih pendek dibandingkan anak lain dengan usia pada populasi yang sama atau laju pertambahan tinggi badannya lebih lambat dari pada anak lain dengan umur pada populasi yang sama. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk memantau tumbuh kembang anak, dan mengukur tinggi badannya setiap bulan hingga usia dua tahun. Pemantauan kemudian dilanjutkan secara berkala selama 6-12 bulan setelah berumur dua tahun.

Dikutip dari laman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, risiko stunting bersifat multifaktorial. Penyebab utamanya adalah malnutrisi kronis pada 1.000 HPK. Gizi buruk bisa berupa kurangnya asupan makanan atau kualitas makanan yang buruk, seperti kurangnya variasi makanan.Faktor lain yang berperan dalam risiko stunting antara lain kesehatan ibu saat hamil, pola asuh dan kesehatan anak atau frekuensi mengalami penyakit menular, kondisi sosial ekonomi dan lingkungan.

Penyakit infeksi dapat menurunkan penyerapan zat gizi dari usus, kehilangan zat gizi secara langsung (misalnya pada diare), dan meningkatkan kebutuhan zat gizi untuk pemulihan sehingga zat gizi tidak digunakan untuk pertumbuhan. Kekurangan energi dan nutrisi juga akan memaksa proses metabolisme tubuh untuk beradaptasi. Sehingga meningkatkan risiko terkena penyakit metabolik di masa dewasa, seperti diabetes, obesitas, dan tekanan darah tinggi.

Intervensi Stunting dari Nutrisi

Kabar baiknya, stunting dapat dicegah. Pemenuhan gizi terutama pada 1.000 HPK merupakan upaya pertama untuk menghindari stunting. Pemenuhan nutrisi tersebut meliputi nutrisi selama kehamilan dan masa kanak-kanak hingga usia dua tahun. Kesehatan ibu hamil dan anak juga harus dijaga dengan menerapkan pola hidup sehat, sehingga dapat mengurangi kemungkinan tertular pada kehamilan dan masa kanak-kanak.

Pemantauan rutin terhadap tumbuh kembang anak juga penting, bahkan sejak kehamilan. Semua zat gizi penting untuk tumbuh kembang seorang anak, terutama protein, dan gizi mikro seperti seng, yodium, zat besi, vitamin A, vitamin D, vitamin B12, asam folat. Kualitas dan keragaman zat gizi juga harus diperhatikan untuk memastikan terpenuhinya semua kebutuhan gizi.

Guna mencegah stunting, penting untuk mengonsumsi makanan bergizi seimbang bagi ibu dan bayi. Hal yang perlu diwaspadai terkait stunting adalah ibu hamil yang mengalami anemia. Masalah anemia ini ibarat lingkaran setan dan bisa dipicu sejak usia remaja. Dikutip dari laman Kementerian Kesehatan RI, remaja putri yang menderita anemia berisiko menjadi wanita usia subur yang anemia selanjutnya menjadi ibu hamil anemia, bahkan juga mengalami kurang energi protein. Ini meningkatkan kemungkinan melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dan stunting, komplikasi saat melahirkan serta beberapa risiko terkait kehamilan lainnya.

Mengapa ibu hamil anemia rentan melahirkan anak stunting?Sel darah merah berfungsi untuk mengalirkan nutrisi ke seluruh tubuh dan janin yang dikandung. Jika jumlahnya terlalu sedikit, pendistribusian nutrisi ke janin tidak akan maksimal. Oleh karenanya, anemia merupakan salah satu masalah kehamilan yang perlu dihindari agar bayi dapat tumbuh sehat dan bebas stunting.

Lantas bagaimana mencegah stunting sejak kehamilan? Berikut ini tips dari laman Cegahstunting.id untuk menghindari anemia saat hamil guna mencegah stunting pada anak yang kelak dilahirkan:

1. Konsumsilah makanan yang banyak mengandung folat dan zat besi, misalnya alpukat, bayam, daging sapi, atau kacang-kacangan.

2. Konsumsi suplemen vitamin dan zat besi. Puskesmas dan posyandu menyediakan suplemen zat besi berupa tablet tambah darah agar ibu hamil mendapatkan asupan zat besi dalam jumlah cukup.

3. Mintalah nasihat dari profesional medis. Ibu hamil perlu memantau kehamilannya secara berkala dengan bidan atau dokter.

Referensi

https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20210122/5236847/saat-remaja-menderita-anemia-ibu-hamil-berisiko-lahirkan-anak-stunting/

https://www.who.int/news/item/19-11-2015-stunting-in-a-nutshell

https://fk.ui.ac.id/en/news-2/the-importance-of-nutritional-intake-to-prevent-stunting.html

https://cegahstunting.id/en/news/stunting-in-children/

https://cegahstunting.id/en/news/how-to-avoid-stunting-for-pregnant-women/